Setengah Abad Berselang


Jakarta terus bersolek, pembangunan fisik digenjot. Ada yang drastis berubah, banyak yang tak jauh berbeda.

Yuri Melnik, seorang eksportir buku asal Uni Soviet, berjalan menyusuri udara tropis Jakarta sambil menenteng kamera Canon Canonet QL19. Melihat Patung Dirgantara, ia berhenti sejenak. Mengarahkan kamera, lalu memotretnya. Saat itu sekira pertengahan tahun 1960-an, lalu lintas Jakarta masih lengang, tak terlihat antrean kendaraan yang mengular seperti sekarang.

Perusahaan eksportir buku tempat Yuri bekerja, Mezhdunarodnaya Kniga, menugaskan ia mengirim buku-buku, majalah, dan rekaman vinil ke Indonesia. Ia berkolaborasi dengan toko buku Chan’s di Indonesia yang menjual buku-buku impor. Pria yang lahir di Moskow, 10 November 1924 itu menetap di Jakarta pada tahun 1965 – 1969.

“Di sela waktu tersebut, ia juga bepergian ke Bandung, Surabaya, Jogjakarta, dan Palembang untuk menjalin kerja sama dengan berbagai toko buku lokal,” ujar Alexei Melnik, anak Yuri Melnik yang ikut ke Indonesia, kepada Historia.

Di luar urusan bisnis, Yuri rajin mendokumentasikan pembangunan-pembangunan yang sedang berlangsung di Jakarta. Banyak foto-fotonya memuat gedung-gedung dan patung-patung yang saat itu menjadi ikon kota, terutama yang ada hubungannya dengan Uni Soviet. Selain itu, ia juga pernah menjadi panitia pameran buku di House of Soviet Culture dan berbagai universitas di Indonesia.

Hubungan Indonesia dan Uni Soviet, kini Rusia, sudah berlangsung lama. Nama “Indonesia” sudah tercantum dalam buku karangan Prof. Dr. Aleksander Guber, Indoneziya, yang ditulis pada 1932, seperti dikutip dari laman indonesia.rbth.com. Sebelum merdeka, Indonesia masih disebut Hindia Belanda, tetapi Uni Soviet memilih sebutan Indonesia sesuai dengan yang didengung-dengungkan para pejuang. Aleksander Guber (1902 – 1971) adalah sejarawan Uni Soviet keturunan Jerman yang serius mengkaji Indonesia dan Vietnam.

Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Uni Soviet yang diwakili Menteri Luar Negeri Andrei Vyshinsky langsung mengirim tawaran hubungan diplomatik kepada Indonesia lewat Mohammad Hatta. Hatta kemudian menjawab tawaran tersebut pada 3 Februari 1950. Tanggal itu kemudian dikenang sebagai tanggal bermulanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Rusia.
Beberapa dekade setelah 1950-an, hubungan Indonesia dan Uni Soviet sangat berkembang. Soviet banyak bekerja sama dengan Indonesia dalam membangun infrastruktur. Beberapa di antaranya adalah monumen-monumen bergaya realisme Soviet yang tersebar di berbagai sudut Jakarta.
Patung Pahlawan atau biasa disebut Tugu Tani adalah salah satu contoh patung realisme Soviet. Patung tersebut terbuat dari perunggu dengan figur satu orang pria bercaping dan seorang wanita. Patung karya dari dua pematung kenamaan asal Uni Soviet, Matvey Manizer dan Ossip Manizer, merupakan hadiah dari pemerintah Uni Soviet atas persahabatannya dengan Indonesia. 
Pada awal 1960-an, keluarga Manizer mengunjungi Pulau Jawa. Selama kunjungan tersebut, mereka mendengar kisah seorang ibu yang mendukung anaknya untuk berjuang demi negara, tetapi berpesan agar sang anak terus ingat kepada orangtuanya. Sebuah prasasti tertulis di podium monumen: Hanya bangsa yang dapat menghargai pahlawan-pahlawannya yang dapat menjadi bangsa besar.
Presiden Sukarno menginginkan Indonesia memiliki industri aeronautika yang maju seperti Uni Soviet. Maka dibangunlah Patung Dirgantara, patung perunggu setinggi 11 meter yang berbentuk seorang pria menunjuk ke arah Bandara Kemayoran. Patung ini kini lebih dikenal sebagai Patung Pancoran.
Sebagai warga negara Uni Soviet, Yuri tak ingin melewatkan kesempatan memotret patung-patung tersebut. Ia tahu ada hubungan erat antara patung-patung tersebut dengan negaranya. Tak hanya itu, suasana jalan-jalan utama ibu kota pun tak luput dari bidikan kameranya.
Saat itu, Yuri harus mengirim film-film hasil bidikannya dari Jakarta ke Australia untuk dicetak. Setelah Yuri meninggal pada tahun 2005, hasil cetakan tersebut kini disimpan rapi oleh Alexei Melnik. Alexei kemudian mendigitalisasi foto-foto ayahnya dulu dan mengunggahnya ke internet.
Aku tidak ingat begitu banyak. Rumah, pekarangan, warna-warna cerah, furnitur rotan, toko mainan favorit, badai dan hujan lebat, Laut Jawa yang tenang, serta kerang,” ujar Alexei mengenang saat-saat berada di Jakarta.
“Tetapi aku ingat betul beranda dan taman tempat aku dan keluarga tinggal. Aku ingat saat pergi ke pantai di pagi hari, banyak benda-benda berwarna cerah dijual di pasar. Ayah menyetir sendiri mobil Moskvitch Station Wagon yang ia gunakan, baik untuk keluarga, maupun bisnisnya, mobil yang dapat memuat banyak buku,” ujarnya lagi.

Setengah abad berlalu sejak Yuri Melnik keliling Jakarta menenteng kamera. Saat itu, Jakarta baru saja berdandan usai jadi tuan rumah Asian Games 1962. Kini, menyambut Asian Games keduanya, Jakarta tak kehilangan ciri kotanya.










Komentar