Kartini dan Perayaan Masa Kini

foto: Charls & Co. Photographen
   Emansipasi. Kata yang sering kita dengar ketika sepertiga akhir di bulan April. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, emansipasi berarti ‘pembebasan dari perbudakan’. Lebih khusus lagi, emansipasi kerap ditulis serangkai dengan kata wanita. Masih dalam KBBI, emansipasi wanita adalah ‘proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju’. Emansipasi wanita adalah dua kata yang menjadi kawan setia dari seorang tokoh bernama Raden Ajeng Kartini, itulah yang selalu diajarkan para guru di sekolah.
   Entah mengapa nama Raden Ajeng lebih melekat ketimbang nama terakhir seorang Kartini yang sebenarnya telah berganti menjadi Raden Ayu. Kartini yang seorang bangsawan Jawa harus mengganti gelarnya dari Raden Ajeng menjadi Raden Ayu setelah menikah. Ah, apalah arti sebuah nama? Kira-kira begitulah kata William Shakespeare. Toh, si empunya nama pun menegaskan bahwa ia lebih senang dipanggil Kartini saja, tanpa Raden Ajeng atau Raden Ayu. “Panggil aku Kartini saja, itulah namaku,” ujarnya dalam surat kepada Estella Zeehandelaar, kawan penanya dari Belanda. Panggil Aku Kartini Saja kemudian menjadi judul biografi Kartini yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.
   Kartini membenci feodalisme, lebih-lebih kepada apa yang merawat foedalisme itu yang tak lain adalah kolonialisme. Sebab itulah ia ingin sejajar dengan rakyat yang selalu dibelanya, salah satu caranya dengan menghilangkan gelar di depan namanya.  
   Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini tanggal 21 April sebagai hari besar yang diperingati setiap tahun, sudah sejauh mana bangsa Indonesia mengenal Kartini?
   Sejauh ini, peringatan (atau lebih tepatnya disebut perayaan) atas Hari Kartini baru sebatas menafsirkan Kartini atas dasar identitas kultural semata. Lewat kebaya atau kain batik, siswi-siswi di sekolah diajarkan cara menghormati pahlawan emansipasi wanita. Pada setiap 21 April, tak hanya siswi di sekolah yang memakai kebaya, tetapi juga penyiar di televisi, sopir wanita di bus Transjakarta, dan lain sebagainya.
   Peringatan kita atas Kartini baru sebatas kulitnya, belum menyentuh isi daging dan darahnya. Tidak pernah diadakan misalnya sebuah festival gagasan dan pemikiran Kartini, yang justru lebih penting dibanding sebatas kebaya dan kain batik. Masih jarang dibahas karya-karya Kartini sebagai seorang seniman dan sastrawan, dan isi surat-suratnya yang berbahasa Belanda. Sampai kini, paling hanya kata-kata “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang akrab di kebanyakan telinga anak Indonesia.
   “Habis Gelap Terbitlah Terang” kemudian diterjemahkan oleh Mr. J.H Abendanon menjadi Door Duisternis tot Licht sebagai judul bukunya mengenai surat-surat Kartini. Kata-kata itu sebenarnya berasal dari sebuah syair Jawa yang dikutip oleh Kartini dalam suratnya kepada Abdendanon:
Habis malam terbitlah terang
Habis badai datanglah damai
Habis juang sampailah menang
Habis duka tibalah suka
   “Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni! Tapi mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah dalam hidup ini, adalah puisi!” ujar Kartini tentang puisi. Tak banyak diajarkan pula oleh guru di sekolah soal Kartini yang mencintai seni, baik itu seni sastra, seni rupa (batik), maupun seni musik (gamelan).
   Kartini pun menggemari tarian-tarian tradisional. Gamelan menyebabkan tubuhnya tertarik untuk bergerak. Bagi Kartini, gamelan seakan-akan: “menuangkan arus api ke dalam nadi-nadi,” tulisnya dalam surat kepada Nyonya Nelly van Kol.
   Pemikiran Kartini soal emansipasi juga masih melulu ditafsirkan sebagai penyamaan hak wanita atas pendidikan dan pekerjaan yang sebenarnya soal itu sudah lama sekali selesai. Bahkan, negara kita sudah pernah dipimpin oleh seorang presiden wanita.
   Masalah-masalah lain soal wanita, yang justru lebih penting, sering terabaikan. Misalnya, soal perkosaan yang masih saja terjadi, juga pelecehan seksual di tempat-tempat umum. Pelecehan seksual tidak hanya soal sentuhan fisik ke fisik, tetapi juga melalui verbal: siulan, godaan, dan lain sebagainya. Kebanyakan kita masih terlalu “norak” bila melihat wanita cantik sedikit. Hal yang tak kalah penting adalah perlindungan terhadap tenaga kerja wanita, baik di dalam maupun luar negeri. Tak jarang kita mendengar kabar penyiksaan tenaga kerja wanita oleh majikannya.
   Seabad lebih Kartini mangkat dari atas bumi, namun jiwanya masih tersisa di relung-relung wanita masa kini. Bukan soal kebaya dan kain batik lagi, melainkan semangat perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Jika dulu Kartini melawan feodalisme lewat tulisan, pada 11 April 2016, sembilan orang ibu dari Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, memasung kakinya dengan semen di depan Istana Negara. Aksi itu terus berlanjut untuk menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng yang meliputi kabupaten Rembang, Blora, Pati, Grobogan, dan Kudus. 
   Kartini yang hidupnya tak lebih dari seperempat abad itu, akan selamanya menjadi simbol bahwa kecerdasan, kepedulian, dan perjuangan, tak mengenal jenis kelamin dan strata sosial. Jika saat ini bangsa kita masih banyak kurangnya dalam banyak hal, percayalah bahwa “habis juang sampailah menang”. Satu-satunya jalan untuk mencapai kemajuan adalah dengan berjuang: sekuat-kuatnya, setabah-tabahnya.

Komentar