Di Balik Pemotretan Perdana: Sebuah Pengantar



Sejujurnya, ini adalah pengalaman pertama saya memotret untuk keperluan pra-pernikahan. “Korban” pertama saya pun bukanlah sepasang klien yang menuntut hasil avant-garde, melainkan abang saya sendiri dan calon istrinya. Hal itu menjadikan saya bebas berkreasi dengan gaya foto apa pun yang saya mau.
Kebetulan tempat yang dipilih adalah Museum Transportasi di Taman Mini Indonesia Indah. Di sana terpajang dengan gagah gerbong kereta yang pernah melakukan perjalanan paling mendebarkan dalam sejarah Republik Indonesia berdiri.
Ketika abang saya yang satu lagi asyik mengambil video-video pendek di tepi danau. Saya merenung di rel; naik-turun lokomotif sambil membayangkan komposisi dan gaya seperti apa yang akan saya ambil untuk pemotretan. Sejenak pikiran melayang membayangkan bayi Republik Indonesia yang masih merah ketika itu diangkut dengan kereta berdinding kayu dengan ancaman peluru yang bisa datang kapan saja. Hal itu membuat bulu kuduk merinding.  
Di ibu kota, bayi republik yang umurnya belum genap setahun itu mendapat ancaman besar-besaran dari Belanda dan anjing-anjingnya. Keberadaan Presiden Sukarno dan para menteri di Jakarta dianggap tidak aman. Tidak hanya kehidupan para pemimpin negara yang terancam, tetapi juga kehidupan dari negara Indonesia seutuhnya.
Pada petang hari tanggal 3 Januari 1946, Presiden Sukarno memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta untuk sementara. Semua pejabat yang turut serta dilarang membawa bekal apa pun, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta. Pengangkutan dilakukan dengan siasat agar tak ketahuan oleh tentara Belanda bernama NICA.  
Rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan yang menjadi “stasiun” keberangkatan terletak di dekat jalan kereta api. Di hari yang sudah gelap, kereta berhenti dengan sesenyap mungkin di belakang rumah: tanpa gaduh dan tanpa lampu. Rombongan memasuki gerbong yang gelap tanpa suara dan cahaya. Karena suara batuk atau api rokok sekalipun akan memancing kecurigaan.
Para pegawai jawatan kereta api yang setia pada Republik sudah mengatur siasat sedemikian rupa untuk mengelabui para tentara NICA yang berjaga-jaga di Stasiun Manggarai. Saat kereta tiba kembali di Manggarai, NICA memeriksa setiap jengkal kereta. Gerbong yang dinaiki rombongan para pemimpin negara sengaja tidak digandengkan dengan gerbong lain dan dibiarkan gelap dengan jendela tertutup rapat. NICA mengira gerbong itu kosong dan mereka berhasil dikecoh. Bila ketahuan, Presiden dan rombongan tentu bisa dengan mudah dihancurkan dengan satu lemparan granat.
Kereta berjalan pelan hingga akhirnya tiba di Stasiun Bekasi. Rombongan baru bisa bernapas lega karena Bekasi merupakan daerah yang dikuasai Republik Indonesia. Lampu dinyalakan dan kereta berjalan lebih cepat. Lima belas jam perjalanan sebelum tiba dengan selamat di Yogyakarta.
Tujuh dasawarsa kemudian, gerbong-gerbong bersejarah itu masih tetap dengan bentuknya semula. Dirawat dan dipajang di museum membuat siapa saja anak bangsa bisa menapaktilasi betapa negara ini dibangun dengan risiko yang sangat besar. Suatu kesenangan tersendiri bagi saya melakukan pemotretan di tempat yang bersejarah itu.

Kebetulan yang mengasyikan, calon istri dari abang saya rumahnya tak jauh dari stasiun kereta komuter di Bojong Gede. Ia sering bolak-balik keluar-masuk kota menggunakan kereta. Hal yang sama sering dilakukan pula oleh abang saya ketika akan mengunjungi calon istrinya.
Dari atas gerbong bersejarah, saya mengatur mereka untuk masing-masing berjalan di dua sisi rel yang menjadi satu, menandakan dua insan yang akan berjalan menuju satu tujuan.
Pada kesempatan yang lain, saya mengatur masing-masing dari mereka menampakkan kepalanya melalui jendela dari dalam kereta. Saya memotret dari luar. Tepat di bawah kepala mereka berdua tertulis kata “merdeka”. Saya bukan mengibaratkan kata “merdeka” sebagai suatu kebebasan dari cengkeraman yang membelenggu, melainkan sebagai pelepasan diri calon pengantin dari tanggung jawab orangtuanya. Suatu tanda bahwa kehidupan baru akan segera dimulai dengan sukacita.

Seperti membangun negara, membangun sebuah keluarga tentu diiringi dengan risiko yang besar. “Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian,” begitu kata Bung Karno. Hanya dengan keberanian yang berlipat-lipat, perahu keluarga akan siap menerjang segala macam jenis ombak di lautan.

Komentar

Posting Komentar