Doping, Sebuah Skandal Global

         Olahraga mengajarkan individu atau kelompok untuk menjadi yang terkuat, yang tercepat, dan yang tertinggi. Banyak cara untuk meraih hal tersebut, salah satunya dengan cara yang tidak bernilai olahraga itu sendiri yaitu kejujuran dan sikap ksatria. Olahraga mengajarkan kita untuk bersikap jujur, tidak curang, dan meraih kemenangan dengan cara-cara yang bersih. Oleh karena itu muncullah istilah sportif, yang berarti bersikap jujur dan ksatria.

Salah satu hal yang paling menjadi musuh olahraga sampai saat ini adalah doping. Doping adalah penggunaan obat untuk meningkatkan performa dalam berolahraga. Asal-usul kata “doping” berasal dari kata dalam bahasa Belanda “doop”, yang merupakan jus opium, doping favorit orang-orang Yunani kuno. Doping sudah terjadi sejak Olimpiade kuno (776 hingga 393 SM).

Pada 1950-an, para atlet mulai menggunakan amfetamin yang digunakan oleh tentara selama Perang Dunia II. Puncaknya pada 26 Agustus 1960 ketika pebalap sepeda Denmark, Knut Jensen, tewas pada Olimpiade Roma ketika berlomba di nomor 100m time trial. Hasil otopsi mengungkapkan adanya amfetamin bernama rocinol dalam tubuh Jensen. Lalu pada 13 Juli 1967, Tommy Simpson, pebalap sepeda Inggris, tewas pada etape ke-13 Tour de France. Ia mengalami overdosis amfetamin dan brandy.




Sebagai reaksi atas tewasnya Knut Jensen dan Tommy Simpson, Komite Olimpiade Internasional (IOC) mendirikan Komisi Medis untuk memerangi doping di olahraga. Komisi itu diberi tiga prinsip dasar: melindungi kesehatan para atlet, respek terhadap etika olahraga dan medis, dan kesamaan kemampuan kompetisi semua atlet. Pada Februari 1968, dilakukan uji obat pertama di Olimpiade, yaitu Olimpiade Musim Dingin di Grenoble, Prancis, dan Olimpiade Musim Panas di Mexico City pada tahun yang sama.

Saat ini, doping menjadi isu internasional, layaknya global warming. Mengapa? Karena olahraga adalah kegiatan yang pasti ada di setiap negara. Semua federasi olahraga, dipimpin oleh IOC, dalam setengah abad terakhir terus berusaha memerangi doping. Doktrin Olimpiade berbunyi: “Hal penting dalam olimpiade bukanlah menang, melainkan berpartisipasi. Yang esensial bukanlah menaklukkan, melainkan berjuang sebaik-baiknya.”

Tujuan itu memang mulia, namun doktrin tersebut nyatanya tak sesuai dengan kenyataan yang ada pada dunia olahraga saat ini. Dunia olahraga modern menuntut atlet untuk selalu menjadi yang terbaik sehingga para atlet serta pelatih rela berkorban dan melakukan apa pun demi prestasi dan penampilan di medan laga. Penampilan berbanding lurus dengan pendapatan.

Pengakuan Atlet
Ketika majalah SportsIllustrated mengadakan sebuah angket pada 1997 untuk para atlet top, salah satu pertanyaannya adalah: “Jika Anda diberi obat yang dapat meningkatkan performa dan Anda tidak akan ketahuan dan bisa menang, maukah Anda?” sebanyak 98 persen atlet menjawab “iya”.

Saat ini, tidak ada cabang olahraga yang aman dari kecurangan dengan memakai doping. Dimotivasi oleh uang, ahli farmasi yang tidak mengenal etika, pekerja medis, pelatih, dan organisasi olahraga bahkan bekerja diam-diam, dan kadang tanpa sepengetahuan si atlet, untuk mengembangkan program doping yang canggih. Tujuannya jelas, mendongkrak performa si atlet, walau kadang membahayakan kesehatan atlet itu sendiri. Tak usah jauh-jauh, perenang Indonesia, Indra Gunawan, terbukti menggunakan doping saat berlaga di Asian Indoor and Martial Arts Games 2013 di Incheon, Korea Selatan awal Juli lalu. Sang atlet mengaku tidak tahu bahwa suplemen yang ia minum sebelum laga mengandung zat Methylhexaneamine yang diharamkan di pentas olahraga.

Beda kasus dengan yang dialami Lance Armstrong. Pebalap sepeda asal Amerika Serikat yang memenangi tujuh gelar Tour de France itu dengan tegas membantah bahwa ia menggunakan doping selama lebih dari satu dekade meski bukti-bukti kuat terus diapungkan.  Baru pada 14 Januari 2013, dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Oprah Winfrey, ia mengakui telah menggunakan zat terlarang selama berbalap sepeda. Ia kehilangan semua sponsornya dan semua gelar Tour de France miliknya dicabut. Kasus doping yang dialami Armstrong barangkali adalah yang paling berlarut-larut dalam sejarah olahraga.

Begitulah sisi gelap yang menjadi skandal besar. Selama obat-obat terlarang masih diproduksi dan selama olahraga masih terus digulirkan, yakinlah bahwa masih akan ada kasus-kasus doping berikut. Lebih dari itu, doping tidak hanya terjadi di olahraga, namun sudah merambah ke luar dunia olahraga; mencapai anak-anak, remaja, dan masyarakat luas yang berisiko terkena dampaknya.



Nugroho Sejati

Komentar