2022, Bukan Suatu Kemustahilan

   Antara lelah, kesal, dan bosan bila kita bicara tentang permasalahan yang seakan tak ada habisnya menghantui sepak bola negeri ini. Ada rasa frustasi ketika tim nasional sepak bola Indonesia tak kunjung bisa mengangkat piala juara. Bahkan hanya untuk bermain di level tertinggi tingkat benua pun, kita sudah hampir lupa bagaimana rasanya.
    Sepak bola, tidak hanya di Indonesia, telah menjadi sesuatu yang penting dan pantas untuk diperjuangkan. Sebagai olahraga paling populer sejagad, sepak bola adalah bagian dari kebanggaan sebuah bangsa. Mengutip tulisan Utut Adianto, bahwa olahraga adalah satu-satunya hal yang memperbolehkan dua negara untuk beradu secara sah serta menjadi patokan konkret satu negara lebih baik dibanding negara lainnya.
    Adalah kenyataan ironis bahwa Indonesia, negara dengan wilayah terluas di Asia Tenggara, tak pernah sekali pun mencicipi manisnya gelar juara Piala AFF (dahulu Piala Tiger), bertolak belakang dengan Singapura, negara kecil yang luasnya tak lebih dari Jakarta, yang sudah mengoleksi empat gelar juara!
    Menjadi juara di Piala AFF saja masih menjadi impian yang entah kapan bisa diwujudkan, apalagi jika kita berbicara lebih jauh lagi seperti Piala Asia atau bahkan Piala Dunia?
    Kini, tim nasional Indonesia sedang berjuang untuk lolos dari lubang jarum menuju Piala Asia 2015. Indonesia berada satu grup dengan Irak, Cina, dan Arab Saudi di Pra-Piala Asia 2015. Berkaca pada uji coba melawan Yordania di mana Andik Vermansyah, dkk bertekuk lutut dengan skor 0-5 untuk lawan, rasanya sulit untuk membayangkan timnas kita bisa mengungguli tim-tim Asia dengan tradisi kuat seperti yang disebut di atas.
    Sejenak, mari lupakan kenyataan pahit di atas. Yang kita perlukan adalah usaha keras untuk setidaknya menyelesaikan dulu masalah yang menggerogoti persepakbolaan negeri ini. Ada sedikit harapan ketika Roy Suryo, Menteri Pemuda dan Olahraga yang baru, dalam berbagai kesempatan berjanji akan bertindak tegas dalam menyelesaikan masalah sepak bola kita. Beliau yang sangat baru di bidang olahraga justru menjadi keuntungan karena belum tertular virus sana dan sini, dengan kata lain tidak berpihak pada siapa pun. Latar belakangnya sebagai pakar telematika yang selalu berpikir teliti dan matematis mungkin akan sangat membantu dalam mengurai benang kusut sepak bola Indonesia. Janji bahwa Ia akan merombak total federasi sepak bola Indonesia jika usahanya memediasi PSSI dan KPSI menemui jalan buntu, patut kita nantikan.

Mulai dari awal
     Jika federasi yang kini diisi oleh bapak-bapak terhormat yang justru menghambat prestasi sepak bola kita di-install ulang dengan isi yang baru, tentu akan memunculkan harapan baru. Memang belum tentu bisa lebih baik. Namun, mencoba yang baru tentu lebih baik ketimbang mempertahankan yang sudah terbukti tidak baik, bukan? Kalau bisa, federasi diisi oleh orang-orang non-parpol yang mengerti dan cinta betul sepak bola Indonesia. Dari praktisi olahraga, pakar sepak bola, hingga mantan pemain patut diapungkan. Khususnya mantan pemain, mereka tentu merasakan betul bagaimana rasanya menjadi pemain yang tidak digaji. Jika mereka diberi tempat di federasi, tentu akan ikut menentukan nasib kawan-kawan segawai mereka.
    Mengubah sistem adalah hal wajib yang harus dilakukan oleh pengurus PSSI yang baru tersebut (jika memang ada). Perihal serius yang tidak dianggap serius sekarang ini adalah pembinaan usia dini. Jika ada turnamen tingkat nasional (minimal tingkat provinsi) berjenjang mulai dari U-12, U-15, U-17, hingga U-19 pasti akan banyak bakat-bakat hebat pesepakbola negeri ini akan muncul dengan sendirinya. Kurikulum pembinaan sepak bola usia dini juga harus segera dibuat untuk dijadikan acuan oleh sekolah-sekolah sepak bola yang tersebar di seluruh penjuru negeri.
   Kebijakan klub yang mendatangkan banyak pemain asing mahal perlu dikaji ulang. Daripada uang dihambur-hamburkan untuk membayar gaji satu-dua pemain, lebih baik digunakan untuk perbaikan fasilitas stadion serta membentuk akademi yang kokoh. Nantinya, klub tinggal memanen hasilnya berupa pemain kuat berkarakter binaan akademinya sendiri.
    Apabila hal-hal tersebut terlaksana, mungkin impian untuk mendengarkan lagu kebangsaan di pentas Piala Dunia akan segera terwujud. Piala Dunia tahun depan di Brasil, Indonesia sudah dipastikan hanya jadi penonton. Empat tahun setelahnya di Rusia 2018, bolehlah kita bermimpi timnas kita jadi tim elite Asia meski belum cukup kuat untuk menembus Piala Dunia. Nah, tahun 2022 di Qatar, bukan suatu kemustahilan lagi kesebelasan Indonesia akan bertarung dengan tigapuluh satu timnas negara lain di pentas Piala Dunia.

Nugroho Sejati
3 Februari 2013

Komentar