Cerita dari Sea Games XXVI

 Ajang olahraga multicabang terakbar se-Asia Tenggara, Asean Games XXVI Palembang-Jakarta, 7-21 November 2011, memang telah usai. Indonesia, sebagai tuan rumah, keluar sebagai juara umum dengan raihan 182 medali emas dari 554 medali emas yang diperebutkan. Selain itu, Indonesia juga meraih 141 medali perak dan 153 medali perunggu. Thailand dan Vietnam membuntuti di posisi kedua dan ketiga dalam hal perolehan medali, selanjutnya secara berturut-turut ada Malaysia, Singapura, Filipina, Myanmar, Laos, Kamboja, Timor Leste, dan yang terbuncit adalah Brunei Darussalam yang tak berhasil mencuri sekeping emas pun.

Oke, lupakan sejenak statistik di atas. Mari kita simak cerita-cerita di balik penyelenggaraan Sea Games XXVI khususnya cabang sepak bola yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, dari sudut pandang saya saat bertugas sebagai volunter di venue cabang sepak bola SUGBK.
Sebenarnya, saya menjadi volunter secara tidak sengaja. Memang saya pernah mengajukan surat permohonan daring (online) lewat situs resmi yang disediakan oleh bagian SDM Inasoc (Indonesia Southeast Games Organizing Committee), namun hingga hari tes pertama dalam perekrutan volunter, saya tidak juga dihubungi oleh pihak Inasoc. Akhirnya saya pun mengira bahwa saya gagal dalam penyeleksian tahap awal lewat surat perekrutan yang pernah saya ajukan tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba pada hari Kamis di bulan Oktober (tanggalnya saya lupa) ada kabar bahwa ada perekrutan volunter tanpa melewati jalur tes terlebih dahulu melainkan hanya mengisi formulir dan menyerahkan data diri beserta sertifikat apa saja entah itu juara lomba, seminar, atau yang lainnya. Hal ini berlaku bukan untuk volunter saja, tetapi juga untuk perekrutan LO (Liason Officer) dan Work Force (pekerja kasar). Batas penyerahan formulir hanya tiga hari. Tak perlu pikir panjang, saya langsung mengisi dan menyerahkan formulir beserta sertifikat-sertifikat yang saya punya untuk selanjutnya menjalani wawancara pada hari Sabtunya. Saya pun lolos dan resmi menjadi volunter Sea Games XXVI.

Sebelum Sea Games benar-benar digelar di SUGBK tanggal 3 November yang mempertandingkan cabang olahraga (cabor) sepak bola dan resmi dibuka secara seremonial di Stadion Gelora Jakabaring, Palembang, 11 November, tentunya ada semacam pelatihan bagi seluruh volunter, LO, dan Work Force serta seluruh komponen yang terlibat pada pesta akbar tersebut. Saya dan teman-teman volunter Jakarta lainnya hanya diberi pelatihan satu hari untuk tugas berat yang menanti selama sebulan lebih. Materi pelatihan pun sangat tidak efektif dan cenderung tidak berguna di lapangan. Tidak ada praktik lapangan di tempat masing-masing volunter bekerja. Hal tersebut disebabkan karena pada saat hari pelatihan, volunter belum ditempatkan di mana mereka bertugas. Tidak ada materi bahasa asing (minimal kosakata-kosakata dasar) untuk sekadar memberi salam pada tamu-tamu dari negara tetangga yang akan memenuhi Jakarta. Tidak ada pemberitahuan peran kerja secara jelas. Inasoc berdalih karena waktu yang sudah semakin mepet. Hal itu menunjukkan ketidaksiapan pemerintah yang dalam hal ini diwakili Inasoc dalam menyelenggarakan Sea Games.

Ada sesuatu yang menggelikan pada saat pelatihan volunter yang dilaksanakan di Balai Diklat DKI Jakarta tersebut. Semua volunter mendapat uang transportasi yang jumlahnya cukup membuat bibir para volunter yang rata-rata mahasiswa melengkung ke atas. Karena jumlah volunter cukup banyak, pelatihan dibagi dalam beberapa kelas. Saya dan teman sekelas saya mendapat Rp129.000 hanya dengan duduk manis mendengarkan materi membosankan dari pukul 08.00 sampai 14.30. Nah, yang menggelikan di sini adalah ketika saya mengetahui uang transportasi yang diterima volunter dari kelas lain ternyata berbeda-beda. Ada yang mendapat Rp90.000, Rp135.000, bahkan ada yang mendapat Rp140.000! Ada apa dengan perbedaan ini? Kita sama-sama volunter, pelatihan pun pada hari dan jam yang sama, materi yang kami dapat pun sama meski dipisahkan oleh tembok pembatas antar-ruang.

Pulang dari pelatihan yang terkesan tak berguna tersebut, saya menjadi tidak sabar untuk mendapatkan seragam dinas beserta tanda pengenalnya (ID Card). Sebelumnya, kami dikumpulkan terlebih dahulu di Gelanggang Remaja Jakarta Timur di daerah Otista, Jakarta Timur, untuk melihat pembagian tugas volunter sekaligus membuka rekening tabungan Simpeda Bank DKI untuk mentransfer uang honor. Volunter dibedakan menjadi empat kategori: volunter venue, volunter bandara, volunter hotel, dan volunter transportasi. Saya kebagian di volunter venue cabor sepak bola di SUGBK. Alangkah senang hati saya karena itu berarti saya bisa menonton secara langsung timnas sepak bola U-23 Indonesia di SUGBK tanpa harus mengantre untuk mendapatkan tiket.

Tibalah saat pembagian kartu tanda pengenal volunter yang bertempat di sekretariat Sea Games DKI Jakarta, Gelanggang Olahraga Pulogadung. Janjinya pukul 12.00, tetapi kartu baru dikeluarkan pukul 13.30. hal ini tentu sangat merugikan para volunter yang rata-rata meninggalkan kuliahnya. Dan itu pun belum semua ID Card tercetak termasuk punya saya. Saat inilah kekesalan saya terhadap orang-orang sekretariat yang sangat tidak profesional bermula. Bayangkan, kami yang belum mendapat ID Card disuruh mengisi ulang formulir pendaftaran lagi, lalu kemana formulir yang sudah pernah kami isi waktu pertama kali mendaftar beberapa waktu yang lalu? Belum lagi soal foto, ketika mendaftar pertama kali saya sudah menyerahkan pas foto ukuran 4x6 cm sebanyak tiga lembar tetapi saat masalah ID Card tersebut, saya harus menyerahkan lagi dengan ukuran dan jumlah yang sama. Saya menduga bahwa formulir dan foto saya hilang karena kesemrawutan meja kerja para orang sekretariat tersebut.

Hingga H-1 saya bertugas, ID Card saya dan beberapa teman volunter SUGBK belum juga jadi. Kami sangat menyesalkan ketidakprofesionalan kinerja orang-orang sekretariat di GOR Pulogadung. H-1 sebelum pertandingan cabor sepak bola digelar, para volunter dikumpulkan di GOR Pulogadung sejak pukul 12.00. Bagi yang belum mendapat ID Card dijanjikan akan mendapatkannya pada hari itu. Namun hingga pukul 18.00 pun ID Card saya belum juga jadi! Hujan deras sore itu menambah nestapa. Sementara yang lain sudah mengalungkan ID Card-nya di leher, saya dan beberapa kawan saya merasa resah membayangkan bagaimana jadinya bertugas tanpa ID Card. Pada pukul 19.00 kami digiring menuju gudang Disorda DKI Jakarta yang terletak tidak jauh dari GOR Pulogadung, tepatnya di belakang Stadion Velodrome dan Kampus B UNJ. Kami semua berjalan kaki menuju ke sana. Mendapat tiga buah kaus oranye berkerah putih, dua buah celana panjang, satu pasang sepatu, sebuah pulpen dan buku catatan yang terbungkus rapi dalam tas berwarna putih kombinasi oranye-hitam yang berlogo Sea Games 26th, Palembang-Jakarta. Sampai saat saya menulis tulisan ini, semua benda tersebut masih saya simpan.  

The Show Must Go On
Hari pertama bekerja. Saya berangkat dari kampus ke Stadion GBK pukul 11.00 dengan estimasi waktu perjalanan kurang lebih satu jam. Semua volunter dikumpulkan terlebih dahulu di belakang Masjid Al-Bina untuk taklimat (pengarahan). Ketika saya datang, sudah berkumpul gerombolan manusia berbaju dan bercelana sama dengan kartu tanda pengenal yang tergantung di leher. Taklimat berjalan singkat.

pertama kali masuk stadion dengan status sebagai volunter

Saya dan beberapa teman saya kira-kira sepuluh orang jumlahnya dikumpulkan terlebih dahulu oleh koordinator volunter GBK. Apa sebab? Saya dan kesepuluh teman saya tersebut adalah orang-orang yang belum memiliki ID Card. Ada satu orang yang protes, ada yang berdebat, namun hasilnya tetap saja nihil. Kami bekerja tanpa ID Card pada hari itu!

“Wiih, gede banget! Baru pertama kali nih gue ke Senayan,” ucap salah seorang volunter kepada teman sebelahnya.

Aih! Ini sangat lucu. Ironi sekali seorang volunter yang seharusnya menjadi ujung tombak Inasoc baru pertama kali menginjakkan kaki di arena laga. Pastinya dia sangat buta akan situasi, lokasi, dan kondisi di SUGBK. Bagaimana nanti jika ada penonton, baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri yang bertanya-tanya. Misalnya ada seorang penonton menanyakan di mana tempat membeli tiket, di mana letak toilet, dan sebagainya. Apa yang akan dia jawab? Dan saya sakin orang seperti itu tidak hanya satu, saya yakin ada banyak volunter yang baru pertama kali datang ke SUGBK.
berpose di belakang gawang SUGBK

 Saya tidak menyalahkan volunter itu. Bukan suatu kesalahan jika ada seseorang yang tidak pernah ke SUGBK atau lebih khusus datang ke pertandingan sepak bola sebelumnya. Saya menyalahkan pihak Inasoc yang sudah saya bahas di atas perihal pelatihan volunter yang sangat tidak efektif. Andai saja pelatihan dilakukan di mana para volunter ditempatkan mungkin para volunter termasuk saya akan jauh lebih matang dan siap menghadapi ajang olahraga terakbar se-Asia Tenggara ini. Tentunya hal ini menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk ke depannya.
ada yang salah? "sangsi" atau "sanksi" ?

Hari pertama berjalan lancar-lancar saja. Hal ini karena timnas Indonesia belum melaksanakan pertandingan pada hari itu sehingga stadion tampak sepi. Kami para volunter, polisi, hingga tentara hanya duduk santai menyaksikan pertandingan dari posnya masing-masing. Namun ada sedikit hal yang menjadi catatan, yaitu saat pertandingan pembuka antara Vietnam dan Filipina. Saat lagu kebangsaan Filipina diperdengarkan,  ada sedikit gangguan audio. Namun, hal tersebut tak menjadi masalah yang berarti.



saat timnas tak berlaga

tentara

volunter sektor 5 dan 6

Begitu pun dengan hari kedua, pertandingan berjalan lancar sebagaimana dirancang. Partai Brunei Darussalam vs Timor Leste dan Myanmar vs Vietnam berjalan seru meski dengan sedikit penonton.

sektor tempat saya bertugas

Masuk ke hari di mana kali ini volunter akan benar-benar bekerja. Hari di mana timnas Indonesia berlaga. Ribuan orang pasti berbondong-bondong datang memenuhi SUGBK untuk mendukung tim Garuda. Timnas adalah salah satu hiburan paling menghibur di tengah kondisi negara yang sedikit amburadul.

Saya dan teman-teman volunter lainnya seperti biasa tiba lebih awal dari sebagian besar penonton yaitu pukul 12.00, namun ada beberapa penonton sudah terlihat di area stadion dan banyak juga di Masjid Al-Bina sembari menunaikan ibadah salat zuhur bagi umat muslim.

Pertandingan berjalan lancar, penonton tertib, dan stadion pun tidak terlalu penuh. Kemenangan untuk timnas Indonesia 6-0 atas Kamboja. Awal yang manis. Hari kedua bertugas cukup nyaman, tertib tanpa halangan.
Selang dua hari, saya harus ke SUGBK lagi, bertugas lagi. Hari itu timnas Indonesia tak berlaga. Kami para volunter dan aparat seperti makan gaji buta karena bekerja dengan santai dan dapat tontonan gratis yaitu pertandingan sepak bola antara Malaysia versus Thailand dan Kamboja versus Singapura.

 Masuk ke hari kelima bertugas. Hari ini diprediksi akan ada pertandingan yang seru tersaji di SUGBK karena selain duel penuh unsur politis antara Thailand dan Kamboja, juga ada partai besar yang melibatkan tim tuan rumah, Indonesia. Saya lupa skor Thailand versus Kamboja, tapi yang pasti Indonesia menang 2-0 atas Singapura. Kalau tidak salah yang mencetak gol adalah Patrich Wanggai dan Titus Bonai, duo Papua penuh talenta.

Belum puas menyelonjorkan kaki, dua hari setelah kemenangan Indonesia atas Singapura, kami para volunter kembali mengawal partai yang menyedot banyak penonton, Indonesia melawan Thailand. Mengapa demikian? Karena Thailand adalah musuh bebuyutan Indonesia dalam hal sepak bola. Lebih daripada itu, pertandingan digelar di hari Minggu. Benar saja, stadion cukup ramai. Job desk yang tidak jelas bagi para volunter membuat saya ikut membantu volunter yang khusus menangani sistem pertiketan. Pekerjaan saya ketika itu adalah merobek tiket masuk para penonton. Sungguh hal yang membuat saya tersenyum mengingat biasanya tiket saya yang dirobek saat menonton Persija atau timnas tetapi kali ini sayalah yang merobek tiket penonton. Hehehe. Tidak hanya itu, saya juga memindahkan air di dalam botol ke dalam plastik karena botol diharamkan untuk masuk ke dalam tribun stadion.

Pada pertandingan pertama, Malaysia vs Kamboja, tribun sudah mulai terisi oleh pendukung tim Garuda. Terdengar beberapa kali suara cemoohan yang sepertinya bermaksud untuk mencemooh tim Malaysia.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, Indonesia vs Thailand. Suara riuh semakin membahana dari dalam stadion yang hampir terisi penuh. Tiupan terompet yang bersaut-saut semakin memekakkan telinga. Gelora semangat yang berasal dari dalam menggetarkan siapa saja yang merasakannya. Saya ikut tergetar dan memutuskan untuk masuk dan menyudahi kesibukan saya merobek tiket penonton karena sejatinya itu bukan tugas saya, tugas saya aslinya adalah di dalam stadion.
berpose sebelum bertugas

Pertandingan dimulai. Berjalan ketat dan sarat emosi. Dua pemain Thailand yang terkena kartu merah menandakan betapa kerasnya partai ini. Kemenangan 3-1 untuk tuan rumah mengantarkan Indonesia melaju ke semifinal sekaligus menghentikan langkah Thailand meski masih menyisakan satu partai lagi.
bertemu Alfred Riedl

Beralih ke partai yang paling ditunggu di babak penyisihan Grup A, Indonesia vs Malaysia. Namun pelatih Rahmad Darmawan tak menurunkan kekuatan penuh di partai yang sudah tak menentukan ini. Alih-alih membalas kekalahan di Final AFF Cup 2010, Indonesia justru kebobolan di menit ke-17 dan tak mampu membalas hingga peluit panjang ditiup. Indonesia dan Malaysia lolos ke semifinal.

Lupakan sejenak cerita tentang kelolosan Indonesia ke semifinal. Kembali ke persoalan awal  perihal ID Card saya yang belum juga jadi sampai babak penyisihan cabang sepak bola selesai. Sebelumnya saya sempat berujar jika sampai babak penyisihan ID Card saya belum juga jadi maka saya akan mogok bekerja untuk partai semifinal. Sungguh sikap yang sangat kekanak-kanakan, bukan? Ah, biar saja. Ini ungkapan emosi dari dalam hati saya.

Laga semifinal mempertemukan Indonesia dengan Vietnam. Seperti janji saya untuk tidak bertugas sementara karena ID Card belum jadi, saya pun hanya menonton partai seru tersebut lewat layar kaca. Skor 2-0 untuk Indonesia. Sebuah euforia besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak lama setelah timnas senior menjadi finalis AFF Cup 2010, timnas U-23 pun tak mau kalah dengan lolos ke final sepak bola Sea Games XXVI.

Aroma balas dendam tersaji pada final sepak bola Sea Games. Publik Indonesia yang tak mau lagi kalah dari Malaysia mengingat kekalahan di final AFF Cup 2010, tak sabar menanti laga final yang akan tersaji di SUGBK. Harapan besar ada di pundak para punggawa timnas U-23 Indonesia saat itu. Gelar juara adalah suatu kewajiban sekaligus pelengkap kesuksesan penyelenggaraan Sea Games XXVI.

Saat Final Tiba
    Hari di mana laga final akan tergelar pun akhirnya tiba. Indonesia semakin tak sabar ingin membalas kekalahan di babak penyisihan. Sementara Malaysia sangat percaya diri menatap laga ini.

    Saya berangkat ke SUGBK dengan ID Card yang sudah terkalung di leher karena sehari sebelumnya saya urus sendiri di GOR Pulogadung. Destinasi pertama adalah tempat parkir sepeda motor belakang Hotel Atlet Century. Lalu saya menuju Pintu Merah SUGBK untuk pengarahan volunter. Pengarahan kali ini terasa penting mengingat hari ini adalah tugas terakhir dan diperkirakan akan banyak sekali penonton yang akan membanjiri stadion utama.
pemandangan dari Sektor 5

    Benar saja, pertandingan masih akan digelar beberapa jam lagi, namun area sekitar stadion sudah tampak ramai dengan manusia-manusia beratribut warna merah. Hampir semua manusia tersebut memiliki keinginan yang sama, pemain Indonesia dikalungkan medali emas di akhir laga.

    Keadaan sebenarnya cukup menegangkan bagi kami, para volunter. Keramaian yang sangat luar biasa sangat rentan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Saya dan teman-teman sudah berjaga di pos masing-masing tiga jam sebelum peluit final dibunyikan dan satu jam menjelang perebutan tempat ketiga antara Vietnam dan Myanmar.

    Mendekati peluit final ditiup, antrean masuk ke SUGBK semakin mengular. Situasi menjadi agak kacau ketika banyak tiket palsu ditemukan. Kami para volunter dan bapak-bapak polisi memang berhasil mencegah pemegang tiket palsu tersebut untuk masuk. Namun, perasaan kasihan timbul karena mereka adalah penonton tak berdosa yang membeli tiket bukan pada tempatnya. Mereka adalah korban para calo nakal.

    Di tengah kesibukan merobek tiket, saya sempatkan untuk melihat kondisi di dalam stadion. Betapa terkejutnya saya ketika melihat stadion hampir terisi penuh meskipun pertandingan belum dimulai sementara antrean di luar pintu stadion masih sangat banyak. Saya melihat ada hal yang tidak beres terjadi. Bukan hanya soal banyak tiket palsu yang berhasil lolos masuk ke dalam, tapi tentang para oknum volunter dan polisi yang mencari keuntungan sendiri dengan memasukkan penonton tanpa tiket namun membayar ke mereka. Saya sungguh khawatir akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Saya kembali merobek tiket dan sesekali menuang air dari botol ke dalam plastik. Tangan saya tak diberi kesempatan untuk rehat. Penonton terus mengalir tanpa henti. Tiba-tiba kawan saya dari atas berteriak, “Penuh! Penuh! Sektor seberang masih kosong!”

Saya yang penasaran mengecek kebenaran hal tersebut. Ternyata benar, sektor tempat saya bertugas memang sudah penuh sementara di seberang masih terlihat kosong. saat saya mau turun lagi dengan maksud memindahkan antrean penonton ke sektor seberang, tiba-tiba ada wartawan asing yang tampak kebingungan. Dia salah masuk tribun, tempat wartawan bukan di sini.

“Sorry, Sir. Can I help You?” saya bertanya kepadanya.

“Reporter.. I am reporter.,” ujar wartawan asing itu dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.

“Okay, follow me,”

Saya mengantarkan wartawan linglung tersebut ke tempat seharusnya wartawan berada. Saya bantu mengangkat tripod kameranya yang ternyata cukup berat. Setelah saya tanya, ternyata ia berasal dari Vietnam. Salam terakhir saya setelah sampai tujuan, “Good luck for Vietnam!”. Wartawan itu membalas dengan kata “thank you” sembari tersenyum.

Kembali ke tempat saya bertugas. Antrean masih saja mengular. Akhirnya pintu ditutup oleh polisi. Semua penonton yang mengantre diarahkan untuk pindah ke pintu seberang. Arahan dari polisi dan volunter tidak digubris, mereka tetap menunggu sampai pintu dibuka kembali.

Lucunya, ada seorang remaja putri yang mencoba merayu saya dengan alasan memiliki peyakit asma. Saya tak mampu berbuat banyak karena memang tribun sudah penuh dan pintu sepertinya tak akan dibuka lagi.

“Lebih baik antre di seberang. Masih kosong. Tadi saya baru mengecek di sana!” imbauan saya terhadap semua penonton yang mengantre.

“Lho, bagaimana ini? Saya sudah pegang tiket sektor ini!”

“saya sudah mengantre dari tadi masa harus jalan lagi?”

“tadi di sana katanya suruh ke sini!”

Keluhan-keluhan seperti itu semakin sering terdengar. Tampak muka mereka sudah mulai sedikit kesal. Di satu sisi saya merasakan perasaan mereka, saya juga pernah berada di posisi mereka sebagai penonton. Tapi di sisi yang lain, saya tak mampu berbuat apa-apa. Dalam hati saya ingin marah kepada oknum-oknum tak bertanggung jawab yang memasukkan penonton gelap ke dalam stadion. Ironis memang, sebagian oknum tersebut adalah mereka yang seharusnya menjadi penegak.

Pertandingan final antara Indonesia vs Malaysia sebentar lagi akan dimulai. Penonton yang masih di luar terus berteriak agar pintu segera dibuka. Mereka memegang tiket. Tiba-tiba botol meluncur ke arah saya, hampir mengenai kepala. Tak mau kejadian yang lebih gawat terjadi, saya pun memutuskan untuk masuk ke dalam stadion.

Untuk menghindari kejadian di luar dugaan, para volunter dianjurkan untuk mengganti seragam dinasnya dengan baju bebas karena keadaan sudah semakin kacau. Saya pun melepas kaos kerah oranye saya dan menggantinya dengan kaos merah berlambang Garuda. Saya resmi menjadi penonton biasa.

Saya ikut berbaur dengan puluhan ribu manusia yang siap mendukung kesebelasan Indonesia. Stadion benar-benar padat. Semakin padat saat pintu di bawah dibuka dan semua penonton dengan atau tanpa tiket bisa leluasa masuk ke dalam stadion. Mereka memaksa masuk meski stadion sudah benar-benar penuh. Saya benar-benar terjepit. Suasana di tribun sangat kacau. Saya yang tadinya di dekat pintu keluar tribun sampai terdesak hingga ke tengah. Tak ada ruang, tak ada jarak.

Stadion Utama benar-benar menggelora ketika Gunawan Dwi Cahyo mencetak gol untuk Indonesia. Indonesia 1-0 Malaysia. SUGBK bergetar. Kedudukan 1-0 untuk Indonesia bertahan hingga babak pertama usai. Saya memutuskan untuk keluar karena suasana di dalam stadion benar-benar tidak nyaman. Baju yang saya pakai sudah benar-benar basah oleh keringat. Lucunya, itu bukan keringat saya melainkan keringat penonton lain yang menempel ke tubuh saya. Jijik.

Akhirnya saya membeli kaos baru yang dijual di sekitar stadion. Kaos yang berwarna merah dengan gambar Garuda di dada itu juga masih tersimpan rapi dalam lemari.  Meskipun tak pernah saya pakai lagi.

Entah ada angin dari mana atau jenis apa, tiba-tiba seorang petugas menggiring para volunter ke Istora Senayan. Katanya keadaan di stadion sudah amat semrawut, apalagi Malaysia menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Saya pun kaget ketika mendengar cerita tentang salah seorang volunter yang mengalami luka di kepalanya. Saya dan teman-teman sudah membayangkan hal yang macam-macam.

 Saat tiba di Istora, saya nonton final Sea Games lewat layar kaca di sebuah ruang yang ternyata adalah markas volunter bagian pertiketan. Suasana nonton bareng di layar televisi padahal stadion terletak hanya selemparan batu tak akan saya lupakan seumur hidup. Ekspresi lelah yang tampak dari wajah para volunter dikombinasikan dengan ekspresi penuh harap akan hadirnya gol tambahan dari timnas Indonesia adalah sesuatu yang sulit diceritakan hanya lewat tulisan.

 Pertandingan final dalam waktu normal 90 menit plus babak tambahan 30 menit telah usai. Saya, yang tak puas hanya menonton lewat layar kaca, memutuskan untuk menuju lokasi layar lebar untuk menonton dengan ratusan atau bahkan ribuan pendukung Garuda yang tak kebagian tiket. Babak yang sangat menegangkan, adu tendangan penalti.

Penendang pertama adalah pemain dari Indonesia dan berhasil mencetak gol. Hal yang unik adalah siaran di layar lebar terlambat sekitar 2 detik dengan kejadian aslinya. Saat gemuruh sudah terdengar dari dalam stadion, tayangan di layar justru masih menampilkan pemain yang baru bersiap menendang penalti.
Satu per satu pemain dari kedua negara berhasil menceploskan bola ke jala gawang. Hingga tiba pada dua penendang Indonesia, Ferdinand Sinaga dan Gunawan Dwi Cahyo, gagal membuat bola menembus gawang Khairul Fahmi, penjaga gawang Malaysia yang malam itu tampil gemilang.

Stadion Utama diam seribu bahasa. Hampir semua penonton berbaju merah tertunduk lesu. Ada yang tertunduk, tak sedikit pula yang menitikkan air mata. Sedih tak terbendung, kecewa tiada kira. Negeri jiran berpesta untuk kedua kalinya dalam dua tahun terakhir di stadion yang sama, stadion yang paling dibanggakan penduduk negeri ini sejak tahun 1962 diresmikan.

Saya tak mampu berkata apa-apa. Dada seperti dihantam benda keras yang menghasilkan rasa sakit bukan main. Mata menyorot tanah yang suram. Air mata pun sampai tak bisa keluar. Menjadi saksi hidup dua kekalahan menyakitkan dalam waktu yang sangat cepat adalah sesuatu yang sangat menyiksa.

Lebih sakit lagi ketika saya melewati seorang pria dewasa beguling-guling di aspal dengan muka dan sekujur tubuhnya dicat merah dan putih. Hanya menggunakan celana jins yang sobek di bagian dengkul dan berambut gondrong membuat semua yang melihat pasti menyangkanya orang gila.

Melihat cat merah-putih di mukanya yang agak luntur karena tetesan air mata adalah tanda bahwa pria itu tak diragukan lagi cintanya atas timnas Indonesia atau lebih luas lagi negara Indonesia itu sendiri.

Saya berjalan lesu menuju pintu merah untuk pengarahan. Koordinator volunter GBK menyampaikan arahannya dengan suara serak. Kita semua bersedih atas kalahnya timnas negara kita. Bangsa Indonesia bersedih. Tak habis pikir mengapa bisa kalah lagi dan lagi. Saya pun bertanya pada Tuhan dari dalam hati, “Tuhan, sampai kapan Kau tak berpihak pada kami?”
volunter sektor 5 dan 6 berpose setelah final

Pengarahan terakhir di Stadion Utama GBK ditutup dengan mengisi daftar hadir dan tepuk tangan yang seakan tanpa tenaga. Saya dan beberapa teman volunter saya memutuskan untuk melihat-lihat dagangan pernak-pernik tentang Sea Games terlebih dulu sebelum pulang. Meskipun sedih Indonesia gagal juara sepak bola, ada perasaan bangga terselip dalam diri saya bisa menjadi bagian dari ajang besar seperti ini.

Kami pulang ke rumah saat stadion sudah sepi. Para pedangang pernak-pernik pun banyak yang sudah merapikan dagangannya.
volunter sektor 5

Haru dan Bangga
Asean Games XXVI Palembang-Jakarta resmi ditutup pada tanggal 21 November 2011 di Stadion Jakabaring, Palembang. Penutupan berlangsung megah dan meriah. Ketua Inasoc, Ibu Rita Subowo, dalam pidatonya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang berhasil membuat sukses ganda pada Sea Games kali ini. Ada kalimat dari beliau yang membuat saya bangga:

“Thanks to all of our volunteer.”

Saya sangat mengapresiasi ucapan terima kasih tersebut. Volunter adalah ujung tombak suksesnya penyelenggaraan Sea Games ke-26 ini.

Acara perpisahan para volunter dilaksanakan di GOR Rawamangun sekaligus pembagian sertifikat. Matahari bersinar terang tapi hawanya tidak panas. Unit Kesenian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta menjadi pengisi acara siang itu.

Kepala Bagian SDM Inasoc, Bapak Mustara, menyampaikan rasa terima kasih dan kebanggaannya terhadap kami para volunter yang sudah bekerja dengan baik. Keharuan menyelimuti kami semua. Ditutup dengan lagu tema Asean Games XXVI Palembang-Jakarta, “Kita Bisa”. Kami bernyanyi bersama, berjoget ria tanda bahagia.

Kita bisa, kita pasti bisa... bersatu bersama dalam satu irama... terbang meraih kejayaan...

NUGROHO SEJATI, 22 September 2012

Komentar