Sumpah Pemuda, Perlakuan Sembarang terhadap Bahasa Kita

Sudah lebih dari delapan dasawarsa yang lalu, para pemuda dan pemudi negeri ini merumuskan cita-cita mulia terhadap bangsanya di kongresnya yang kedua. Mereka merumuskan tiga butir pernyataan penting yang dikenal sebagai peristiwa Sumpah Pemuda yang masyhur itu. Mereka mengaku lewat kata-kata yang dituangkan dalam bentuk tulisan untuk tetap berbangsa dan bertanah tumpah darah satu, bangsa dan tanah air Indonesia, serta bersumpah untuk menjunjung tinggi bahasa yang saat itu menjadi bahasa persatuan dalam menggerakkan cita-cita kemerdekaan untuk menuju negara yang berdaulat, bahasa Indonesia.
Peristiwa Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah penting dalam perjalanan bangsa ini. Pada tanggal 28 Oktober 1928 itulah bahasa Indonesia mendapat pengakuan yang lebih mantap setelah sebelumnya, M.Tabrani, pada 2 Mei 1926, dalam Kongres Pemuda I mengusulkan untuk mengganti penggunaan nama bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang kemudian diusulkan sebagai hari lahirnya bahasa Indonesia oleh Harimurti Kridalaksana, ahli bahasa dari Universitas Indonesia dalam seminar “Sejarah Kelahiran Bahasa Indonesia” pada tahun 2007 yang lalu.

Rumusan mulia dalam tiga butir Sumpah Pemuda tersebut tentu dicita-citakan oleh para pemuda zaman itu tidak hanya berlaku pada saat tersebut saja, melainkan sebagai pegangan yang diharapkan akan selalu berdampingan dengan dinamika perkembangan bangsa ini ke depan. 

Merasa Tidak Wah 

Kini, bahasa Indonesia yang selalu berkembang seiring perkembangan bangsa kerap mendapat hantaman-hantaman dari bahasa asing yang mengalir deras melalui arus globalisasi. Ada anggapan dari (sebagian besar) masyarakat perkotaan maupun pedesaan bahwa penggunaan bahasa Inggris lebih meninggikan gengsi bagi penutur ketimbang menggunakan bahasa nasionalnya. Mudah ditemui penggunaan bahasa Inggris mengalahkan bahasa Indonesia di tempat-tempat dan fasilitas umum di ibukota negara yang notabene adalah pintu gerbang negara. Kita bisa lihat kata exit terpampang jelas di atas pintu keluar bioskop ataupun gedung parkir yang mayoritas pengunjungnya adalah orang Indonesia. Atau lebih parahnya lagi, pemakaian R. Medical Check Up di depan pintu masuk ruang pemeriksaan medis pada sebuah rumah sakit umum daerah. Padahal, rumah sakit tersebut bukanlah rumah sakit kelas internasional yang sasarannya adalah para ekspatriat, melainkan masyarakat Indonesia sendiri. Entah apa pula makna dari huruf R tersebut, ruang atau room? Jika artinya adalah ruang, maka makin jelaslah kerendahan budi bahasa pembuat tulisan tersebut. Sedangkan, jika artinya room pun sama saja bodohnya (seharusnya ditempatkan di akhir).

Bahkan, dinas pendidikan lewat program Sekolah Bertaraf Internasional/Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (yang selanjutnya disebut SBI/RSBI) dengan merasa tidak bersalah sama sekali turut melanggar konstitusi negara yang tercantum dalam Pasal 29 UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, terlebih dalam Pasal 33 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan bagi anak bangsa. Kita tahu bahwa SBI/RSBI adalah sekolah dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya.  Terlebih, program tersebut seolah dipaksakan karena para guru yang mengajar pun belum semua lancar berbahasa Inggris.

Apakah alasan dibuatnya program SBI/RSBI untuk mengakomodasi istilah ilmu pengetahuan dan teknologi yang kebanyakan berasal dari istilah bahasa asing? Jika benar alasannya demikian, maka tampak jelas sekali kemalasan dari dinas pendidikan kita. Dinas pendidikan kita lebih memilih menempuh jalan pintas alih-alih membuka glosarium yang dengan susah payah dibuat oleh Badan Bahasa (dahulu Pusat Bahasa) yang melibatkan para ahli di bidang ilmu masing-masing yang kini telah mencapai 410.000 kata.

Jika kita sering jalan-jalan melintasi jalanan ibukota tentu kita tak asing lagi dengan moda transportasi yang ada sejak Sutiyoso menjabat sebagai gubernur. Kita pasti tak asing dengan markah jalan yang bertuliskan Masuk Jalur Busway atau Jalur Khusus Busway. Kekacauan berbahasa para pembuat papan pengumuman tersebut (entah siapa yang membuat) sangatlah jelas. Kata busway sendiri berasal dari bahasa Inggris yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Jalur Bus, lantas apa jadinya jika digabung menjadi Masuk Jalur Jalur Bus atau Jalur Khusus Jalur Bus? Apakah busway adalah sebuah nama? Mengapa tidak ditulis saja dengan Masuk Jalur TransJakarta atau Jalur Khusus TransJakarta? Lagi-lagi, mungkin disebabkan oleh kemalasan para pihak yang terlibat sehingga terkesan sembarang dan asal-asalan dalam membuat informasi di papan markah. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika bahasa bahasa Indonesia mendapat kedudukan yang lebih rendah dibanding bahasa asing. Sering kita jumpai pada pintu masuk gedung perkantoran/pusat-pusat perbelanjaan kata entry ditulis di atas kata masuk dan ukurannya pun lebih besar. 

Hal-hal tersebut di atas adalah sebagian kecil contoh-contoh yang mudah kita temui di lingkungan sekitar. Masih banyak lagi contoh perlakuan sembarang terhadap bahasa nasional kita yang sering kita jumpai, yang paling mudah adalah penamaan pusat-pusat perbelanjaan dan perumahan-perumahan elite di kota-kota besar yang menggunakan bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Agaknya, kita terlalu sombong dan enggan untuk menengok ke belakang bahwa bahasa Indonesia-lah bahasa yang mempersatukan para pemuda dari barat ke timur Nusantara sehingga melahirkan gerakan-gerakan yang bersifat nasional sampai akhirnya negeri ini tiba pada saat yang berbahagia, kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “...Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”

Komentar