Aku
hidup di tempat-tempat paling kotor di dunia. Di sela-sela jamban atau di
kolong lemari atau sudut meja yang jarang dibersihkan pemiliknya. Tempat yang
terpencil dan sangat jarang terjamah oleh manusia. Konon, nenek moyangku sudah
hidup ribuan tahun yang lalu ketika zaman masih bernama purba.
Aku
hidup berkoloni. Di sela-sela jamban atau di kolong lemari atau sudut meja yang
jarang dibersihkan pemiliknya. Banyak makhluk sejenisku yang hidup, tinggal,
dan mencari makan di tempat aku hidup, tinggal, dan mencari makan. Aku makan
semaunya, tak ada batasan. Tak perlu takut kolesterol atau khawatir diabetes.
Aku makan semaunya dan semuanya.
Meskipun
aku tak perlu sulit untuk memilih makanan, namun proses untuk mengambil makanan
tersebut sangatlah membahayakan. Jika tidak hati-hati, nyawaku bisa melayang
dengan dihancurkannya tubuhku hancur sehancur-sehancurnya, lantas mayatku
ditendang atau disapu ke jalan dan siap untuk terinjak oleh sandal anak-anak
manusia yang sedang asyik bermain polisi-polisian, atau tergilas sepatu
pantofel milik karyawan kantor, atau terlindas ban sepeda motor dan mobil yang sedang
melintas.
***
Pernah
pada suatu ketika, aku berburu makanan bersama salah satu temanku. Lapar di perutku
tidak terkendali, suara krocok-krocok keluar dari dalam lambungku. Kami
putuskan untuk menyicipi makanan milik manusia yang sudah membusuk, bentuknya
bulat dan warnanya oranye dengan sedikit noda kehitaman. Makanan itu terletak
di pojok meja makan. Aku sedikit lupa kaum manusia untuk makanan itu, mungkin
rejuk atau jeruk. Ah...sudahlah, apalah artinya sebuah nama, begitu kata
William Shakespeare.
Kami
berunding dengan cermat saat akan mengambil rejuk atau jeruk busuk tersebut
agar jangan sampai ada manusia yang memergoki kami. Karena jika ada satu saja
manusia yang melihat, maka tamatlah riwayat kami.
Situasi
begitu mencekam saat kami sedang serius berunding di bawah meja untuk menentukan
siapa yang akan maju lebih dulu dan siapa yang bertugas sebagai pemberi kode
jika ada bahaya. Tiba-tiba seorang anak manusia melintas di depan mata kami,
hampir saja kakinya menginjak tubuh kami berdua. Sialnya, kumisku tak sengaja
mengenai kaki anak manusia itu sehingga menyebabkan ia kaget bukan kepalang.
“Kecoa!
kecoa! Ma, ada kecoa..!” anak manusia itu teriak-teriak memanggil ibunya sambil
lari terbirit-birit.
“Mana,
Nak? Di mana kecoanya?”
“Di
situ, Ma,” anak manusia itu menjawab sambil telunjuknya menunjuk ke arah kami
berdua.
Bodohnya
kami, saat itu tak langsung memutuskan untuk berlari menghindar dari kejaran
manusia. Kami kaget dan kehilangan akal pada saat itu hingga pada akhirnya
sesosok manusia paruh baya berjenis kelamin perempuan yang tak lain adalah ibu
dari si anak kecil itu datang membawa sapu lidi di tangan kanannya hendak
membunuh kami berdua. rasa panik menggelayuti kepala kami. Kami pun lari
berpencar secepat kilat. Sial bagiku karena ibu itu memutuskan untuk memilih
aku sebagai sasaran tembaknya. Aku lari sekuat tenaga membentuk zig-zag agar
menyulitkan sang pemburu itu. Saat aku terpojok pada sebuah sudut ruangan dan
aku hanya bisa pasrah saat sapu lidi hanya berjarak satu meter di atas badanku,
tiba-tiba temanku terbang dan mendarat di kepala manusia yang sedang berusaha
membunuhku. Ibu itu kaget sekali sehingga mengalihkan perhatiannya pada temanku
tadi.
Alamak,
apa yang ada dipikiran temanku itu. Ia berusaha mengalihkan perhatian manusia
bersenjatakan sapu lidi itu untuk menyelamatkan nyawaku. Saat manusia bersapu
lidi tak lagi mengejarku, temanku terbang lagi dengan arah yang sangat sulit
ditebak. Templok sana, templok sini. Nahas
bagi temanku karena sabetan sapu lidi sang pemburu mengenai tepat di punggung
temanku ketika sedang berada di udara. Kehilangan kendali, temanku pun jatuh
tersungkur ke lantai dengan posisi kaki menghadap ke atas. Dengan penuh
keyakinan, manusia bersapu lidi itu menyabet sapu lidinya dengan keras ke tubuh
temanku yang tak berdaya.
Aku
tak mampu berbuat apa-apa. Temanku hancur karena menolongku. Manusia terlalu
kuat untuk kulawan sendirian. Aku tidak mungkin bisa membalaskan dendamku.
Itulah nasibku sebagai seekor hewan lemah tanpa daya. Hidup dan mati begitu
tipis bagi kami, kaum kecoa.
Tubuh
temanku hancur tak berbentuk, mungkin hanya sepasang kumisnya yang masih
terlihat normal. Disapunya temanku ke luar pintu dengan kaki yang masih
bergerak-gerak.
Temanku
masih hidup! Segera kuhampiri temanku tadi yang tubuhnya sudah tergolek lemas
di jalanan depan rumah manusia.
“Mengapa
kau lakukan itu, temanku?” aku tanya alasan mengapa ia rela hampir mati demi
menyelamatkan nyawaku
“Biarlah
aku mati di sini, toh cepat atau
lambat kita pasti akan mati di tangan manusia.”
“Tidak!
Kau masih hidup dan kau masih bisa untuk sembuh..!”
“Tak
bisa kawan, tinggalkanlah aku di sini biar mati terinjak atau terlindas,”
temanku bicara sambil merintih menahan rasa sakitnya.
“Aku
akan tetap di sini menolongmu, membantumu agar bisa sembuh kembali.”
“Tinggalkan
aku sekarang daripada nanti ada manusia yang melihat dan kita akan mati bersama,”
pintanya.
“Tidak!
Bagaimana bisa aku meninggalkan teman yang sudah menolongku dalam keadaan
hampir mati begini?” betapa aku sungguh tak kuat menahan air mataku yang mulai
bercucuran.
“Pergi
sekarang! Anak-anak manusia sedang berlarian menuju kemari!”
Apa boleh buat, daripada kami berdua mati
sia-sia terinjak gerombolan anak manusia yang sangat beringas, lebih baik aku
pergi menyelamatkan diri. Pemandangan
yang sangat menyakitkan ketika sepasang kaki anak manusia menggilas keras tubuh
temanku yang sudah lemah tanpa daya. Temanku mati.
***
Lain
lagi cerita Paman Coro, kecoa penghuni kolong lemari sebelah. Dia pernah cerita
beberapa hari yang lalu temannya pergi mencari makan di rak sepatu. Secara diam-diam
teman Paman Coro berjalan menuju rak sepatu untuk memuaskan hasrat perutnya.
Perjalanan berlangsung mulus tanpa ada satu manusia pun yang memergoki. Dia cari
sepatu yang paling kotor, dia masuki, dia gerogoti, dia ciumi dengan penuh
gairah. Namun, keadaan berubah menjadi sangat mencekam ketika ada manusia berjalan
menuju rak sepatu. Paman Coro memanggil-manggil temannya itu. Karena sedang
asyik mencari makan, tak didengarnya peringatan dari Paman Coro.
Apes
bagi teman Paman Coro karena manusia itu mengambil sepatu yang ia singgahi.
Panik luar biasa menggelayuti isi kepala teman Paman Coro itu. Dibawanya sepatu
itu ke depan pintu untuk segera dipakai oleh pemiliknya. Tanpa diduga, teman Paman
Coro itu meloncat keluar sepatu dan
mendarat tepat di jempol kaki manusia yang menjinjing sepatu itu. Sontak
manusia itu pun kaget bukan kepalang. Diambilnya semprotan serangga dari bawah
meja dan langsung menyemprotkannya ke arah teman Paman Coro itu tanpa ampun.
Ternyata semprotan serangga itu kurang ampuh dan hanya membuat teman Paman Coro
lemas sehingga masih bisa mengerak-gerakkan kakinya.
Belum
puas, manusia itu segera menghantam teman Paman Coro dengan bagian bawah sepatu
yang sedang dijinjingnya. Teman Paman Coro mati seketika dengan tubuh yang
hancur-sehancurnya.
Mendengar
cerita itu, dendamku kepada manusia semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya aku
menggerakkan ribuan kecoa untuk meneror manusia dan balas membunuhnya satu per
satu. Namun, setiap aku membicarakan hal ini kepada setiap kecoa yang aku
temui, aku malah dibilang gila.
“Sudah
gila kamu rupanya!”
“Ini
takdir kita sebagai kecoa.”
“Tidak
mungkin kita yang kecil bisa melawan raksasa.”
“Sudahlah,
ini jalan hidup kita, nikmati saja”
Bayang-bayang
perkataan kecoa-kecoa lain terus bergelantungan di dalam pikiranku. Nyaliku
ciut. Aku sadar tidak mungkin hewan sekecil kecoa bisa melawan manusia yang
besarnya ratusan kali lipat lebih besar. Aku menyesal dilahirkan sebagai kecoa.
***
Berbeda
dengan nasib kecoa-kecoa lain kebanyakan yang jika dipergoki manusia langsung
tamat riwayatnya. Aku termasuk kecoa yang baik nasibnya, aku selalu bisa lolos
dari kejaran manusia padahal hampir setiap hari aku tepergok. Namun aku sadar,
suatu saat aku pasti mati di tangan manusia, pembunuh nomor satu bagi bangsa
kecoa.
Kami
hanya hidup di tempat-tempat yang jarang dibersihkan. Kami adalah hewan yang
hanya betah tinggal di tempat-tempat yang kotor. Tempat tinggalku adalah di
sela-sela jamban yang pemiliknya sangat jarang membersihkannya sehingga aku dan
teman-temanku tinggal dan berpinak di sela-sela jamban tersebut.
Hingga
pada suatu malam terdengar kabar bahwa lima hari lagi akan dilakukan pengasapan
gas beracun untuk membasmi kecoa-kecoa. Kami kaum kecoa berunding mencari jalan
keluar untuk bisa bertahan hidup. Satu-satunya jalan adalah hijrah. Ya..kami
akan hijrah tiga hari lagi. Kami akan cari tempat kotor lainnya untuk kami kuasai.
***
“Brrrrmmmm....brrrrmmmmm..brrmm...brrrrmm..brrrmmm..”
Suara
keras yang terdengar tiba-tiba sangat mengagetkanku yang sedang tertidur pulas.
Sangat mengganggu dan semakin lama semakin keras. Aku lantas keluar kamar mandi
mencoba melihat dari mana suara itu berasal. Ternyata itu adalah suara mesin
pengasapan!
“Pengasapan...pengasapan...!”
“Lari...Lari...!”
Terdengar
jerit-jerit panik dari kecoa-kecoa lain termasuk aku yang langsung mencari
temanku sang pemberi kabar.
“Bagaimana
bisa pengasapan terjadi? Ini baru sehari, belum lima hari seperti yang kamu
katakan,” tanyaku dengan dibarengi rasa panik.
“Aku
sendiri tidak tahu! Manusia itu mengibuli kita semua. Sial!”
Aku
dan teman-temanku tak bisa kemana-mana lagi, termasuk Paman Coro dan lainnya
yang tinggal di kolong lemari. Kami semua sudah terkepung. Asap mengelilingi
kami, tak ada jalan keluar. Makin lama kepalaku makin pusing. Sudah banyak
teman-temanku yang terkulai lemas di lantai bahkan ada yang langsung mati.
Mayat kecoa bergeletakan di mana-mana.
Aku
mencoba bertahan hidup dengan mencari tempat yang paling sedikit kena asap. Aku
temukan sebuah lubang kecil di dekat pompa air yang cukup dalam. Kumasuki
lubang itu untuk berlindung sementara pengasapan terus berlangsung. Aku
berusaha sekuat tenaga agar tidak mati, aku tidak ingin kecoa di tempat ini
punah karena lingkungan ini sangat nyaman bagi kaum kecoa akibat jarang
dibersihkan oleh manusia yang memilikinya.
Pengasapan
selesai. Aku adalah satu-satunya kecoa yang masih hidup pasca-pengasapan. Aku
lihat mayat-mayat kecoa bergelimpangan di sana-sini termasuk Paman Coro yang
mati telentang di dekat kaki meja makan. Sekarang aku di sini sendiri, manusia
gagal memusnahkan kecoa di tempat ini. Aku akan tetap hidup dan berpinak
kembali sampai koloni kecoa bertambah banyak lagi karena tempat ini sangat
nyaman untuk ditinggali.
Jakarta, 8 Mei 2011
Komentar
Posting Komentar