Awal Saya Menyukai Sepak Bola

Pertama saya menyukai permainan yang sangat fenomenal ini adalah ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, mungkin saat itu saya masih kelas 1. Yang saya ingat adalah saya mulai tertarik dengan olahraga ini adalah ketika saya melihat sebuah poster seorang pemain yang waktu itu dan sampai sekarang bermain untuk kesebelasan Manchester United asal Inggris, pemain itu adalah Ryan Joseph Giggs, salah satu legenda hidup MU (Manchester United) yang masih bermain hingga tulisan ini dibuat. Giggsy, sapaan akrab Giggs, begitu memikat hati saya yang saat itu belum tahu banyak tentang olahraga ini. Saya hafal namanya, nomor punggungnya, rambutnya pun saya suka. Secara langsung saya menyukai kesebelasan tempat ia bermain, MU, meskipun saya tidak pernah menonton sepakbola secara langsung di televisi apalagi stadion.

Tepat setelah tim nasional Prancis juara dunia tahun 1998, pikiran anak kecil saya mendorong untuk mengganti “jagoan” yang lebih bisa dibanggakan. Saya memilih Zinedine Yazid Zidane, dia lah sosok yang membawa tim Prancis juara Piala Dunia ’98 dan Piala Eropa ’00. Klub yang dibela Zidane saat itu pun saya dukung, Juventus. Saya lebih mantap kali ini untuk mengusung Juventus sebagai klub kebanggaan saya ketika itu hingga tiba masa saat Real Madrid memboyong Zidane dengan banderol 46 juta poundsterling. Karena saya lebih suka Zidane ketimbang Juventus, saya pun (lagi-lagi) pindah ke lain hati, Real Madrid, yang menjadi klub kesukaan saya sampai saat ini (mungkin karena Madrid adalah persinggahan terakhir Zidane sebagai pemain).
Ryan Joseph Giggs

Saat Piala Dunia 2002 bergulir di Korea-Jepang, Prancis sebagai juara bertahan takluk 0-1 dari tim kuda hitam Senegal di partai pembuka yang digelar di kota Seoul. Mungkin ketidakberdayaan Prancis saat itu karena faktor cedera sejumlah pemain andalan termasuk Zidane. Di tahun ini pula saya pertama kali mengenal sepak bola yang seharusnya saya kenal lebih dulu, yaitu sepak bola Indonesia, sesuatu yang saya banggakan sampai saat ini. Pertandingan pertama yang saya tonton adalah Final Liga Indonesia VIII antara Petrokimia Putra Gresik vs Persita Tangerang, yang paling saya ingat adalah pada saat itu lapangan Gelora Bung Karno yang menjadi arena final tergenang air atau banjir akibat hujan deras yang cukup mengganggu jalannya pertandingan yang akhirnya dimenangkan oleh Petrokimia dengan skor 2-1 (extra time). Saya juga masih ingat ketika itu Persita diperkuat Ilham Jaya Kesuma, Firman Utina, dan dilatih oleh Benny Dollo, sedangkan di Petrokimia ada Serghei Dubrovin sebagai pelatih dan Agus Indra Kurniawan sebagai pengatur serangan. Dari pertandingan ini saya memilih untuk menyukai Persita

Mungkin karena pertandingan itu saya mulai menyukai dan mengenali sepak bola Indonesia. Saya ingat ketika Persita dan Petrokimia mewakili Indonesia di turnamen LG Cup melawan tim-tim terbaik dari Asia Tenggara. Lawan yang tangguh ketika itu adalah Bec Tero Sasana dari Thailand dan East Bengal asal India. Bec Tero ketika itu diperkuat oleh legenda sepakbola Thailand, Kiatisuk Senamoang, begitu juga East Bengal dengan Baichung Bhutia sebagai motornya.

Beralih ke Liga Indonesia IX (2003) yang masih bernama Liga Bank Mandiri. Kesebelasan Persik Kediri begitu perkasa ketika itu dengan Musikan sebagai bintang. Liga Indonesia IX menggunakan format satu wilayah, jadi tidak ada partai final. Musikan dinobatkan sebagai pemain terbaik liga dan Oscar Aravena, tendem Christian Gonzales di PSM Makassar menjadi pencetak gol terbanyak. Tahun ini adalah tahun pertama ketua umum PSSI penuh kontroversi menjabat.

Berlanjut ke Liga Indonesia X, inilah awal saya punya jagoan baru yang mungkin menjadi jagoan untuk selamanya, Persija Jakarta. Liga kali ini berjalan sangat seru sepanjang musim dan yang paling saya ingat adalah partai terakhir yang menentukan siapa di antara 3 tim teratas (Persebaya, Persija, PSM) yang layak menjadi jawara sejati. Saat itu saya menyaksikan siaran langsung Persebaya vs Persija, jika Persija menang hari itu maka Persija juara. Pertandingan berjalan seru dengan jual beli serangan. Persebaya yang masih diperkuat Jacksen F Tiago memborbardir pertahanan Persija yang digawangi oleh Syamsidar di bawah mistar. Persija juga menyerang dengan ganas dari sisi sayap, Ellie Aiboy dan Gustavo Hernan Ortiz. Penyerang asing Persija ketika itu yang tak bisa bermain akibat akumulasi kartu, Emmanuel de Porras terpaksa tak bisa menemani Bambang Pamungkas di lini depan untuk menjebol gawang Hendro Kartiko yang saat itu sedang tampil sangat cemerlang. Pada saat itu Persija kalah (saya lupa skornya) dan Persebaya berhasil meraih gelar juara serta menjadi tim pertama yang berhasil menjadi juara liga untuk kedua kali.

Tibalah saat dimana Persija mengalami musim terbaik menurut saya (saya belum kenal sepak bola Indonesia saat Persija juara tahun 2001). Tahun ini pula saya pertama menyaksikan pertandingan sepak bola secara langsung dari atas tribun, partai Persija vs Persib di Stadion Lebak Bulus. Meskipun baru ditinggal Bambang Pamungkas dan Ellie Aiboy yang hijrah ke negeri seberang, Persija bermain konsisten musim itu hingga mencapai double final. Namun sangat disayangkan jika akhirnya Persija tak meraih satu pun gelar, di final Liga Indonesia kalah dari Persipura (2-3) dan di Copa Dji Sam Soe takluk oleh Arema (3-4).

Liga Indonesia selanjutnya tak ada yang istimewa menurut saya, jadi tak perlu dijabarkan satu per satu. Berturut-turut liga dimenangi oleh Persik (2006, mengalahkan PSIS Semarang di final), Sriwijaya FC (2007, mengalahkan PSMS Medan di Final, partai berjalan cukup unik karena tanpa dihadiri penonton, berlangsung di Std. Jalak Harupat), Persipura (2008/09, format liga kembali ke 1 wilayah), Arema Indonesia (2010, dihuni banyak pemain muda). Juara-juara Copa Indonesia berturut-turut adalah Arema (2005, 2006), Sriwijaya (2007, 2008/09, 2010). Sejak tahun 2010, nama Copa Indonesia berganti menjadi Piala Indonesia.

Liga Super Indonesia 2010/11 ? kita tunggu saja...


Jakarta, 3 April 2011

Komentar