Ketika Sebuah Tulisan Menyadarkan Saya

Dulu, ketika saya masih usia sekitar 5-6 tahun, saya sering diajak Ibu saya ke sebuah toko buku di daerah Matraman. Tempat itu begitu bermakna dalam hidup saya, disana saya menemukan sebuah benda kecil ajaib berbentuk buku dan didalamnya berisi lembaran-lembaran bergambar hitam putih dan tulisannya yang khas serta membentuk sebuah jalinan cerita. Benda itu akhirnya saya ketahui bernama komik. Komik membuat jiwa saya semakin lengkap dan ada kesenangan tersendiri ketika saya membaca komik.

Komik yang paling saya gemari ketika itu adalah komik Detektif Conan karangan Aoyama Gosho yang bercerita tentang seorang detektif muda yang diracun oleh sekelompok penjahat sehingga tubuhnya menyusut menjadi seperti anak kecil kembali. Dia adalah Sinichi Kudo yang kemudian mengganti identitasnya sebagai Conan Edogawa untuk bisa tinggal di rumah detektif bodoh yang bernama Kogoro Mori. Selalu saja ada kasus yang menarik untuk diselidiki saat detektif Kogoro bepergian bersama Conan dan anak gadis perempuannya yang tak lain adalah pacar Sinichi Kudo. Dan Conan Edogawa selalu bisa mengungkap kasus-kasus kejahatan dengan menggunakan suara Kogoro.

Satu lagi komik yang saya suka adalah komik Doraemon karya Fujiko F. Fujio. Doraemon adalah robot kucing dari abad ke-21 yang datang ke abad ke-20 dengan menggunakan mesin waktu dan tinggal bersama Nobita dan keluarganya. Dalam kantong ajaib yang dimiliki Doraemon terdapat berbagai alat atau mesin canggih yang bisa mempermudah kegiatan manusia. Alatnya yang paling terkenal adalah Baling-baling Bambu dan Pintu Kemana Saja. Doraemon selalu membantu Nobita dan di akhir cerita Nobita selalu menangis karena menyesali perbuatannya. Dua komik tersebut mampu mengisi waktu luang saya dengan hiburan yang tidak membosankan.

Disaat saya bertambah usia dan perkembangan jaman menuntut kita untuk banyak-banyak menyerap informasi, saya sering mengisi waktu saya dengan membaca koran. Pertama-tama saya membaca koran, saya hanya melihat rubrik olahraganya saja karena olahraga menarik minat tersendiri dalam diri saya. Di penghujung masa SD, saya rajin membeli koran mingguan yang khusus memuat sepakbola, koran itu adalah Soccer. Setelah lama saya berlangganan koran Soccer, akhirnya saya berpaling ke tabloid yang tidak hanya berisi sepak bola, tetapi semua olahraga dimuat. Tabloid itu adalah tabloid Bola yang belum lama ini mulai terbit 3 kali dalam seminggu. Saya juga membaca koran-koran berita umum. Awalnya saya hanya sesekali membeli Tabloid Bola, namun semenjak ada hajatan besar Piala Dunia FIFA 2006 yang diselenggarakan di Jerman saya hampir tak pernah melewatkan untuk membeli Tabloid Bola dengan sisa uang saku saya.

Bola menjadi bacaan wajib saya 3 kali seminggu. Tabloid itu membuka wawasan saya tentang dunia olahraga Indonesia dan dunia. Bola menjadi inspirasi saya dalam berbagai hal. Bola menjadikan saya mencintai olahraga Indonesia dan Bola juga yang memilihkan idola untuk saya, dia adalah Bambang Pamungkas. Tepat pada saat Bola mencapai usia yang ke-25 tahun, saya mendapat bingkisan dari Bola yang berisi kaos, tas, topi, dan beberapa sticker berlogo Bola karena ucapan ulang tahun saya terpilih sebagai ucapan terbaik menurut redaksi tabloid itu.

Tabloid Bola juga membuat minat baca saya meningkat. Awalnya membaca koran, lalu sedikit demi sedikit saya mulai membaca buku selain buku pelajaran. Buku pertama yang saya selesaikan adalah buku SBY: Harus Bisa yang ditulis oleh Dr. Dino Patti Djalal, juru bicara Presiden SBY pada Kabinet Indonesia Bersatu I. Buku itu berisi catatan dan kegiatan Presiden SBY ketika menjabat sebagai Presiden RI. Sebenarnya saya membaca buku itu secara tidak sengaja, buku itu didapat oleh ibu saya ketika menghadiri upacara Peringatan HUT Republik Indonesia yang Ke-63. Awalnya saya hanya iseng membaca-baca halaman depan, namun terus-menerus hingga akhirnya saya menamatkan buku itu. Cukup menarik dan banyak inspirasi dari buku itu.

Suasana sekolah juga menambah minat baca saya terhadap sesuatu yang baru. Ada seorang teman saya di SMA yang bernama Taufik Daulay yang sangat getol baca buku. Koleksi bukunya sangat banyak dan karena dia rajin membaca wawasannya pun menjadi luas. Buku yang dia baca tergolong “aneh” dan “berat” untuk ukuran anak SMA, misalnya buku The Knight Templar, 2015: Indonesia Pecah, Konspirasi Yahudi di Bumi Indonesia, dan lain-lain yang berhubungan dengan dunia luar.

Pernah pada suatu hari dia membawa beberapa buku dan guntingan koran berisi artikel-artikel menarik untuk dibaca oleh teman-temannya termasuk saya. Tiba-tiba dia membuka tasnya dan mengeluarkan isinya serta menumpahkannya ke meja.

“Nih, gua bawa buku banyak. Perpustakaan keliling, gratis pinjam asal dikembalikan, hehehe,” Daulay membuka percakapan sambil menyusun buku-buku di atas meja belajarnya disertai tawa geli. Sontak saya dan teman lainnya pun tertawa heran sembari menggauli buku-bukunya.

Buku-buku milik Taufik Daulay selalu jadi rebutan oleh teman-temannya, bahkan ceritanya tentang konspirasi pun selalu menarik untuk didengar. Sekarang dia kuliah di Universitas Indonesia jurusan Ilmu Politik. Dia adalah salah satu teman baik saya, pikirannya sangat luas dan sulit dijangkau oleh teman-teman sebayanya. Saya yakin dia akan menjadi orang besar di negeri ini suatu saat nanti.

Ketika tahun 2010 tiba, saya sadar bahwa tahun 2010 adalah penentuan masa depan saya. Lulus atau tidaknya saya di Ujian Nasional dan berhasil atau gagalnya saya mendapat universitas pilihan ditentukan di tahun ini. Saya bersama Taufik Daulay dan satu lagi teman saya bernama Septian Suryatyatama atau biasa dipanggil Abah memutuskan untuk mengambil bimbingan belajar di salah satu tempat bimbel terkemuka di Jakarta. Kami bertiga bertekad untuk masuk PTN bersama-sama. Tak bisa dipungkiri, dulu saya sangat obsesi untuk kuliah di Universitas Indonesia. Kami berjuang bersama. Malam minggu pun kami gunakan untuk belajar di BKB Nurul Fikri.

Hingga pada suatu hari, hasil tes seleksi masuk Universitas Indonesia yang pertama keluar. Saya dan Daulay dibuat kecewa oleh pengumuman hasil tes. Kami berdua tidak lulus dan teman kami Abah berhasil lulus masuk UI jurusan Administrasi Niaga. Abah menyemangati kami untuk menyusulnya dan ia mengucapkan salam perpisahan dan salam perjuangan kepada Saya dan Daulay. Saya dan Daulay mengikuti tes yang lain dan kali ini kami berhasil, Daulay diterima di UI jurusan Ilmu Politik dan saya masuk Universitas Negeri Jakarta jurusan Sastra Indonesia. Kami berdua masih belum puas karena Daulay masih mengincar jurusan Hubungan Internasional UI dan tujuan utama saya adalah Sastra Indonesia UI dan saya juga ingin satu kampus dengan mereka, Abah dan Daulay. Saya bertekad untuk mendapatkannya di tes terakhir yang saya ikuti. Namun kenyataan berkata lain, Tuhan menghendaki saya untuk kuliah di UNJ. Daulay gagal mendapatkan incaran utamanya dan ia tetap di Ilmu Politik UI.

Saya bersyukur diterima di UNJ karena hasil kerja keras saya meskipun saya harus mengubur impian saya untuk kuliah di kampus yang kata orang adalah kampus terbaik di Indonesia. Selamat tinggal UI dan saatnya ucapkan selamat datang di Universitas Negeri Jakarta. Saya berdoa semoga saya berhasil di sini, di kampus dan jurusan yang sekarang saya kagumi. Disini saya menemukan teman-teman baru yang baik dan dosen-dosen hebat yang saya kenal.

Hingga pada suatu hari dimana saya telah menjadi mahasiswa UNJ, senior-senior dari BEM Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia merekomendasikan beberapa novel untuk saya. Saya pun memilih satu dari beberapa yang ditawarkan, yaitu novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Novel yang berlatar tahun ’40-an itu adalah novel legendaris yang sangat fenomenal.

Saya beli novel itu di toko buku Gramedia Matraman, tempat saya membeli komik ketika kecil dulu. Novel yang cukup menguras emosi dan memberi banyak motivasi itu saya tamatkan dalam waktu sebentar saja. Novel tersebut adalah novel pertama yang saya baca dari awal mula hingga tamat, sangat seru. Saya yakin ketiga novel lanjutan dari Bumi Manusia tak kalah seru dari novel pembukanya, yaitu Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Jam kuliah saya yang semakin hari semakin padat sedikit mengurangi waktu luang saya. Kebutuhan kuliah yang semakin meningkat juga sedikit mengurangi sisa uang saku saya. Waktu untuk membaca buku atau koran pun sedikit berkurang. Sekarang saya sudah jarang membeli tabloid Bola, tidak sesering dulu lagi. Namun saya rutin membaca koran Kompas edisi sabtu dan minggu, biasanya saya selalu menyempatkan diri membaca rubrik Seni sebagai sarana memperbanyak wawasan dalam dunia sastra Indonesia karena saya kuliah di jurusan sastra Indonesia.

Di jaman yang semuanya serba daring (online) ini, membaca tidak hanya melulu melalui buku, koran, atau majalah dalam bentuk fisik tetapi dapat melalui media internet yang mudah dapat dilakukan kapan dan dimana saja. Ketika saya sedang mencari bahan bacaan yang menarik untuk dibaca di internet, saya memilih untuk mampir ke laman situs pribadi dari seorang pesepakbola kesohor negeri ini yang tak lain adalah idola saya, Bambang Pamungkas.

Selain piawai dalam bermain sepak bola, Bepe, sapaan akrab Bambang juga sangat jago dalam menulis artikel atau cerita-cerita tentang dirinya. Ada sebuah tulisan yang sangat menggugah hati saya, yaitu tulisan yang berjudul “Mimpi di Tengah Malam Hari yang Sunyi”. Setelah saya membaca tulisan tersebut hati saya tergerak untuk mengikuti apa yang dilakukan Bepe untuk negeri ini. Dia sangat berdedikasi tinggi terhadap Indonesia, khususnya Timnas sepak bola Indonesia.

Tulisan tersebut sangat menggugah jiwa nasionalisme saya. Meskipun saya bukan Bambang Pamungkas yang sangat pandai dalam mengolah si kulit bundar, tetapi tulisan tersebut telah menyadarkan saya untuk berdedikasi tinggi dalam setiap pekerjaan yang kita miliki. Meski hanya lewat kumpulan kata-kata, tulisan mampu merubah hidup sesorang. Itulah saat ketika sebuah tulisan menyadarkan saya.



Cipayung, Februari 2011

Komentar

Posting Komentar