Sepak Bola Menyatukan Indonesia



Saat itu, tanggal 18 Juli 2007 adalah hari yang sangat menegangkan bagi sebagian rakyat bangsa Indonesia dan Korea Selatan. Dua tim sepakbola terbaik dari masing-masing negara akan beradu untuk memperebutkan satu tempat di perempatfinal.

Di tempat yang berbeda, Bayu, seorang baru masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) sedang menjalani hari terakhir Masa Orientasi Siswa (MOS) di salah satu SMA di kota paling indah di dunia, Jakarta.

Bayu adalah salah satu pendukung setia atau bisa dibilang super fanatik terhadap salah satu kesebelasan sepakbola yang ada di kota Jakarta. Dia juga sangat mencintai negaranya, dan tentunya tim nasional sepakbola Indonesia yang saat itu dimotori Ponaryo Astaman di lini tengah.

Hari itu, Bayu ingin sekali cepat pulang ke rumah dan langsung bergegas ke kawasan Senayan yang menjadi tempat dilangsungkannya pertandingan Indonesia vs Korea Selatan. Tapi, apa boleh buat, OSIS-OSIS di sekolah tempat ia mengadu nasib itu sangatlah kolot, mereka seperti tidak tahu bahwa akan ada pertandingan yang akan sangat menentukan nasib bagi tim nasional negara tempat mereka dilahirkan.

Waktu terasa berjalan sangat lama, satu menit bagai tujuh menit, satu jam bagai tujuh jam. Bayangkan saja, pertandingan dimulai pukul 17.00, tetapi jam dinding sudah menunjukkan pukul 15.00, Bayu masih berada di sekolah, padahal tiket pertandingan sudah di tangan.

Muka Bayu sudah berubah warna menjadi merah padam dan Bayu ingin sekali memberi bogem mentah ke muka para OSIS yang amat sangat kolot itu. Tetapi, setelah sekian lama bersabar, Bayu pun diperbolehkan pulang.

“Nah, dari tadi kek loe bolehin gue pulang!”, Bayu menggerutu tetapi nampaknya terdengar oleh telinga para OSIS kolot.

“Woy, ngomong apa loe barusan!? Jangan pulang dulu loe!”, teriak salah satu OSIS yang namanya tak boleh disebutkan.

Bayu tetap melanjutkan langkah cepatnya seraya berkata di dalam hati, “Bodo amat dah, emank gue pikirin. Gue gak takut sama loe semua..”

Di tungganginya sepeda motor pabrikan Jepang dengan segera, lalu lantas pulang dengan terburu-buru. Ia mengendarai sepada motor dengan sangat cepatnya sehingga membahayakan dirinya dan orang lain.

“Ah, tak apalah, kalo gue mati sekarang juga gak papa. Apakah mungkin gue bakal mati syahid? Apakah Allah akan nerima gue di surga karena mati dalam perjalanan membela bangsa?” pikir Bayu dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

Sesampaiya di rumah, Bayu makan sekadarnya, lalu membuang seragam sekolahnya dan segera menggantinya dengan kaos replika tim nasional Indonesia yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Tak lupa juga syal merah-putih, bendera, dan pernak-pernik lainnya yang menandakan pendukung Indonesia tak luput dimasukkan ke dalam ransel miliknya.

Jalanan Jakarta terasa macet sekali pada hari itu. Jalan-jalan protokol di penuhi warna merah dan putih berbaur menjadi satu. Warga sangat antusias menyambut gelaran sepakbola paling akbar se-Asia yang baru pertama kali diselenggarakan di Jakarta maupun Indonesia.

Telah sampailah Bayu dengan kakaknya di tempat parkir sebelah timur stadion paling besar di kawasan Asia dan menjadi yang ke-4 di dunia, Stadion Utama Gelora Bung Karno. Lalu, datanglah suara gemuruh dari dalam stadion yang mengagetkan semua orang di luar stadion.

Semua orang sontak kegirangan, entah itu pedagang asongan, calo tiket, penonton tak kebagian tiket (akibat ulah para calo), maupun petugas kebersihan (maksudnya disini adalah pemungut botol air mineral yang sudah kosong) berjingkrak, berteriak, bersyukur, bahkan ada yang berpelukan dengan orang tak dikenal, serta ada yang meneteskan air mata. Semua mengira itu gol bagi kesebelasan Indonesia.

“Gooool… eh, gol tuh! Yes, Indonesia menang! Kita kelewatan golnya lagi”, seru Bayu terhadap kakaknya.

“Jangan terlalu seneng dulu Bay”, jawab kakaknya.

Tak lama kemudian, Bayu dan kakaknya masuk ke dalam stadion. Bergetar hati Bayu melihat pemandangan yang sangat luar biasa indah di dalam stadion. Semua orang sepakat meninggalkan atribut kedaerahan dan mengenakan kaus berwarna putih (pada saat itu, tim nasional Indonesia memakai seragam berwarna putih, sehari sebelumnya bapak Presiden menghimbau seluruh rakyat yang ingin menonton langsung supaya mengenakan atribut berwarna putih).

Tidak ada warna jingga, tidak ada biru, kuning, tak pula ditemukan warna hijau. Hampir semua orang mematuhi imbauan Presiden dan sepakat mengenakan kaus putih bertuliskan “INDONESIA” di dada. Tak pula terlihat jelas para pendukung Korea Selatan yang seakan tenggelam diantara pendukung Indonesia.

Betapa kecewanya Bayu saat menoleh ke arah utara, papan skor menunjukkan angka 1-0, tapi tidak untuk Indonesia melainkan gol bagi Korea. Tapi, pertandingan baru berjalan sekitar 30 menitan. Bayu pun meneteskan airmata.

“Yaa ampun, berarti tadi gol Korea..”, Bayu bicara sendiri mengingat gemuruh di tempat parkir.

Peluang demi peluang tersaji di lapangan. Mulai dari Ellie Aiboy, Budi Sudarsono, maupun Bambang Pamungkas. Tak satupun membuahkan gol. Pelatih Ivan Kolev tampak tegang sekali.

Pertandingan berjalan begitu cepat sampai akhirnya tiba penghujung babak pertama. Semua rakyat Indonesia berdoa, berharap Ivan Kolev mampu menerapkan strategi terbaik untuk membalikkan keadaan.

Babak kedua dimulai, jantung berdebar mengharapkan Firman Utina dkk mampu mencetak gol membalikkan keadaan.

Markus Horison tegak berdiri mengawal gawang Indonesia. Charis Yulianto, Maman Abdurrahman, Ricardo Salampessy, dan Firmansyah bahu membahu menjaga pertahanan Garuda. Firman Utina dan Ponaryo Astaman tak henti-hentinya mencoba membangun serangan. Begitu juga Ellie Aiboy dan Muhammad Ridwan yang terus berlari sembari memberi umpan matang kepada sang striker Bambang Pamungkas dan Budi Sudarsono yang terus berusaha sekuat tenaga merobek jala gawang Korea. Tapi, pertahanan Korea bak batu karang yang sangat sulit ditembus.

Akhirnya peluit tanda berakhirnya pertandingan dibunyikan, skor akhir tetap 1-0 untuk Korea. Mimpi 200 juta lebih rakyat Indonesia untuk melihat tim nasionalnya berjaya untuk sementara sirna.

Tepuk tangan meriah diberikan penonton Indonesia kepada para pejuangnya di lapangan hijau, begitu juga dengan para pemain yang membalas tepukan penonton dengan lambaian dan penghormatan karena walaupun saat itu mereka kalah, penonton tetap menghargai perjuangan mereka.

Tepuk tangan berlangsung kurang lebih 5 menit di sambung dengan koor “INDONESIA…! INDONESIA…!”. Bapak Presiden SBY pun turun ke lapangan memuji para pemain yang berjuang sekuat tenaga demi bangsa dan Negara sebelum berbicara di hadapan para penonton.

“Para penonton, telah kita saksikan perjuangan yang begitu kuat dari tim nasional kita! Kita harus bangga akan hal itu, hargai perjuangan mereka!”, Sepatah kata dari bapak Presiden yang disambut dengan tepukan sangat meriah yang menggetarkan Stadion Utama.

Semua orang Indonesia saling bersatu bagai saudara, tak ada perbedaan suku disana, tak peduli Batak ataupun Jawa, Aceh atau Papua, semua bersatu dengan satu nama, INDONESIA. Tak ada kerusuhan yang sering terjadi di Indonesia bila tim yang dibelanya kalah, tak ada pelemparan botol berisi air kencing, tak ada sahut-sahutan petasan. Pertandingan berjalan tertib, aman, dan damai.

Sehari setelahnya, dubes Korea Selatan untuk Indonesia mengucapkan terima kasih kepada rakyat Indonesia yang menerima warganya untuk datang ke stadion.

Harapan kembali terbit mengingat permainan timnas yang begitu taktis dan bersatunya supporter Indonesia. Ini semua membuktikan bahwa sepakbola telah menyatukan Indonesia.

“Apakah ini pertanda bangkitnya sepakbola Indonesia?”, Bayu berkata pada kakaknya sambil tersenyum didalam tangisan.

“Ya, kita doakan aja Bay”, jawab kakaknya.
Gairah Bayu memang patut dijaga untuk bekal meretas jalan menuju pentas dunia. Karena apa? Karena yang merancang trofi Piala Dunia saja berdoa bahwa suatu saat Indonesia akan merajai sepakbola dunia.

Jakarta, Juli 2007

Komentar