Mendadak Timnas

Bulan terakhir di tahun 2010, ada suatu fenomena unik di Indonesia. Media berlomba-lomba meliput atau memberitakan timnas sepakbola Indonesia yang sebelumnya sangat jarang itu terjadi. Mendadak semua orang terbius oleh euforia yang ditawarkan oleh panggung sepakbola. Dan mendadak pula sangat mudah menemui orang berbaju merah dengan lambang Garuda di dada.

Diawali dengan kemenangan telak timnas Indonesia atas Malaysia di Piala AFF 2010 yang membuat semua mata tertuju pada Firman Utina dan kawan-kawan. Tak bisa dipungkiri pula, hadirnya Irfan Haryys Bachdim yang berwajah indo juga turut membuat timnas semakin dipuja. Dari mulai anak-anak sampai ibu-ibu membicarakan Irfan Bachdim dan Christian Gonzales. Wajah-wajah pemain timnas sering sekali muncul di koran dan televisi yang menjadikannya mendadak selebriti.

Antusiasme masyarakat untuk menonton langsung ke stadion pun semakin besar. Antrean tiket pertandingan Indonesia di Piala AFF 2010 semakin hari semakin mengular. Butuh perjuangan ekstra untuk hanya mendapatkan selembar tiket. Calo pun mengeruk keuntungan besar dari fenomena ini, entah dari mana mereka mendapatkan tiket, tapi yang pasti di setiap pertandingan sepakbola atau olahraga lainnya, para calo selalu saja bisa mendapatkan tiket lebih dulu.

Replika-replika kostum tim Merah Putih banyak dipajang dimana-mana, dari kelas mal yang harganya ratusan ribu hingga kelas pasar becek yang bisa dibeli dengan harga kurang dari lima puluh ribu rupiah. Di situs jejaring sosial macam facebook atau twitter, ramai-ramai orang menyatakan dukungannya terhadap tim nasional Indonesia.

Semua hal tersebut terjadi karena penampilan ciamik yang diperagakan timnas di bawah asuhan Alfred Riedl. Situasi ini mirip dengan yang terjadi pada tahun 2007, dimana ketika itu Indonesia menjadi Tuan Rumah Piala Asia 2007 bersama Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Namun, yang terjadi saat ini jauh lebih dahsyat, mungkin dibantu oleh kedatangan Irfan Bachdim yang menjadi selebriti dadakan Indonesia.

PSSI, organisasi tertinggi yang mengurus sepakbola negeri ini mendadak mengklaim bahwa ini adalah buah kerja keras mereka, padahal entah kecil atau besar pengaruhnya, kesuksesan timnas saat ini mungkin karena “bantuan” dari Irfan dan Gonzales yang notabene bukan produk pembinaan dari PSSI. Mendadak mereka sangat mengelu-elukan pelatih Alfred Riedl, padahal PSSI sempat berkicau di media bahwa Alfred adalah pelatih yang tak tahu adat dan sangat kaku dalam menjalankan tugasnya beberapa bulan yang lalu.

Nurdin Halid pun mendadak mengklaim bahwa yang berperan besar mendatangkan Alfred adalah dia, jelas ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap diri sendiri. Sebelumnya Nurdin berniat memboyong pelatih tenar asal Turki, Fatih Terim, seperti yang ditawarkan oleh Presiden SBY. Alfred bekerja untuk timnas atas usaha dari BTN (Badan Tim Nasional) yang diketuai oleh Iman Arif, pemilik 20% saham klub Liga Inggris, Leicester City.

Penampilan hebat timnas yang bisa dibilang mendadak memunculkan pula penonton dadakan. Penonton yang dijadikan lahan bisnis oleh PSSI, mereka adalah penonton yang berani bayar mahal untuk menyaksikan dua puluh dua orang sebesar ibu jari berlari-lari mengejar bola. Mereka menyisihkan penonton “asli” yang jauh sebelum timnas meledak seperti ini sudah ada di belakang mendukung Garuda berlaga. Mereka yang sudah ada sebelum harga tiket mendadak melambung tinggi seperti saat ini. Tapi apa daya, mereka seakan hilang ditelan bumi. Yel-yel khas yang mereka nyanyikan ketika timnas berlaga seakan tenggelam oleh penonton dadakan itu yang lebih senang membunyikan terompet ketimbang menyumbangkan suaranya.

Mereka (penonton dadakan) memang tak bisa disalahkan, itu hak mereka untuk menonton timnas hanya ketika timnas menang saja. Toh, mereka juga berperan memadatkan GBK yang membuat merinding tim tamu. Namun, sangat disayangkan jika penonton-penonton yang selama ini setia menyaksikan panggung liga sepakbola nasional terpinggirkan oleh penonton-penonton yang selama ini ogah menyaksikan liga Indonesia. Andai saja timnas tak bermain semenarik saat ini, mungkin para penonton setia itulah yang tetap ada di tribun mendukung Garuda.

Bedanya penonton “lama” dengan yang dadakan terlihat saat partai Final 29 Desember 2010 yang lalu. Saat tim nasional kebobolan terlebih dahulu oleh tendangan keras pemain Malaysia, Mohd Safee Sali, banyak penonton yang bukannya memberi dukungan yang lebih keras justru meninggalkan stadion dan bergegas pulang. Namun, ternyata timnas mampu bangkit dan bermain ngotot hingga membalikkan keadaan menjadi 2-1 meskipun tak mampu menjadi juara akibat kalah agregat. Hal ini terjadi karena masih ada penonton yang setia memberikan jiwa dan raganya untuk mendukung timnas dari tribun stadion.

Timnas Indonesia memang tidak juara saat itu, namun timnas telah memenangkan hati rakyat Indonesia. Rakyat tetap bangga terhadap permainan timnas yang pentang menyerah sampai menit terakhir. Dan rasanya fenomena dadakan ini tidak hanya berhenti sampai disini saja, tetapi akan terus berlanjut jika penampilan timnas terus menghibur sampai akhirnya menggenggam piala juara. Semoga...

Jakarta, 13 Januari 2011

Komentar