|
Nugroho Sejati |
Terik matahari, tebaran
debu, dan jejak roda alat berat menjadi kawan sehari-hari para penambang batu
cadas di Gunung Tugel, Patikraja, Banyumas. Kulit gosong terbakar terik serta
tangan penuh kapal merupakan persamaan yang dapat ditarik dari ratusan
penambang.
Pertambangan sudah berlangsung
sejak puluhan tahun lalu. Kegiatan pertambangan batu bermula dari para perajin
cobek yang mengambil batu di daerah tersebut. Kini, perajin cobek sudah tidak
ada sama sekali, berganti dengan penambang batu cadas dengan alat berat dan
truk-truk besar. Batu cadas yang dihasilkan disebar ke daerah sekitar Banyumas,
Purbalingga, Tegal, dan Kebumen untuk dijadikan bahan fondasi bangunan.
|
Nugroho Sejati |
|
Nugroho Sejati |
|
Nugroho Sejati |
Kualitas batu cadas Gunung
Tugel yang tak begitu baik dibanding batu dari Cilacap membuat harganya tak
begitu tinggi. Satu truk batu hanya dihargai 250.000 – 300.000 rupiah. Harga
tersebut kemudian dibagi rata dan dipotong 100.000 rupiah untuk pemilik lahan
dan kuli angkut. Butuh dua atau tiga penambang untuk menghasilkan satu truk
batu dalam sehari. Bila dirata-ratakan, satu penambang menghasilkan 80.000 – 100.000
rupiah dalam sehari penuh berpeluh.
Kekhawatiran akan habisnya
batu di Gunung Tugel menghantui para penambang. Kebanyakan penambang yang tak
punya sawah untuk digarap hanya menggantungkan hidupnya pada batu. Batu cadas
telah menghasilkan kepulan asap di dapur mereka serta membiayai anak-anak
mereka sekolah.
“Waktu saya kecil gunung ini
sampai pinggir jalan, Mas. Sekarang sudah hampir rata seperti ini,” ujar salah
seorang penambang.
|
Nugroho Sejati |
|
Nugroho Sejati |
|
Nugroho Sejati |
|
Nugroho Sejati |
|
Nugroho Sejati |
|
Nugroho Sejati |
|
Nugroho Sejati |
|
Nugroho Sejati |
Komentar
Posting Komentar